SuaraJakarta.co, JAKARTA – Hari ini, Kota Jakarta sedang menapaki usia ke 488 tahun. Sebagai Ibu Kota Negara dan pusat segala macam aktivitas mulai dari pemerintahan, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan lainnya, Jakarta menjadi kota kebanggaan rakyat Indonesia dan sudah ditasbihkan menjadi salah satu kota terbesar di dunia. Seperti kota-kota besar lainnya, Jakarta juga dirundung berbagai persoalan mulai dari macet, banjir, urbanisasi termasuk persoalan-persoalan sosial, salah satunya terkait perempuan dan anak. Terlebih saat ini di Indonesia sedang marak kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan.
“Salah satu tantangan terbesar Jakarta di usia ke 488 tahun ini adalah bisa berpredikat sebagai kota layak anak dan ramah terhadap perempuan. Memang ini bukan pekerjaan mudah, perlu proses, perencanaan yang matang, eksekusi yang tepat, dan tentunya waktu yang tidak singkat. Makanya, harus dimulai dari sekarang,” ujar Senator Asal Jakarta Fahira Idris di sela-sela kunjungan kerja di Jayapura, Papua (22/6).
Sangat banyak syarat-syarat yang harus dipenuhi sebuah kota jika ingin berpredikat layak anak dan ramah terhadap perempuan, mulai dari syarat-syarat yang dianggap sepele hingga syarat yang serius. Mulai dari infrastruktur fisik termasuk fasilitas publik, regulasi, keberpihakan anggaran, sumberdaya manusia, hingga keterlibatan masyarakat.
“Kota yang layak anak itu, anak-anaknya harus dilibatkan dalam perencanaan kota dan lingkungan tempat dia tinggal. Tapi selama ini, tidak pernah rapat RT/RW yang melibatkan anak-anak, apalagi di tingkat nasional. Suara mereka harus didengar karena mereka bagian dari bangsa ini. Ini kita belum menyinggung syarat lain misalnya ketersedian tempat bermain, sekolah ramah anak, puskesmas ramah anak, hingga regulasi dan anggaran yang berpihak kepada anak,” jelas Fahira.
Senada dengan Kota Layak Anak, menjadi Kota Ramah Perempuan juga butuh keseriusan, tidak hanya dari pemerintah kota tetapi juga dari masyarakat. Hal-hal yang selama ini kita anggap sepele dan biasa, ternyata sebenarnya tidak ramah terhadap perempuan.
“Coba cek, berapa banyak toilet di mall yang ramah terhadap perempuan. Kami perempuan, butuh waktu lebih lama dan toilet yang lebih luas serta lebih banyak dibanding laki-laki. Tapi sangat jarang ada toilet seperti ini. Atau berapa banyak mall dan kantor di Jakarta yang punya lift tembus pandang. Kebanyakan tertutup, dan ini rentan terjadinya tindak kejahatan kepada perempuan. Kasus yang baru ini terjadi, di mana seorang karyawan yang diperkosa oleh supir angkot juga menjadi cermin bahwa begitu tidak ramahnya menajemen angkutan umum di Jakarta terhadap perempuan,” ungkap perempuan yang juga Wakil Ketua Komite III DPD RI ini.
Menurut Fahira, salah satu kota di dunia yang paling menarik programnya untuk menjadikan kotanya ramah terhadap perempuan adalah Kota Seoul (Korea Selatan). Programnya begitu simpel, misalnya penerangan lampu jalan yang cukup, pencatatan nomor taxi yang dipakai oleh perempuan, dan fasiltias taxi panggil dari pukul pukul 22.00 hingga pukul 10.00, sampai yang komprehensif, salah satunya menyediakan pusat-pusat keterampilan khusus perempuan agar siap dan mampu membangun lapangan pekerjaan sendiri. Bahkan, Tahun 2014 lalu, Pemerintah Kota Seoul menganggarkan Rp1 triliun hanya untuk membangun tempat parkir khusus perempuan yang lebih lebar dan nyaman.
”Saya rasa, Jakarta bisa mulai dari hal-hal yang kecil dulu tetapi dampaknya langsung dapat dirasakan anak dan perempuan. Misalnya tidak ada lagi papan reklame di semua jembatan penyeberangan karena akan menghalangi pandangan jika ada tindak kejahatan terhadap perempuan saat berjalan di atasnya. Atau memastikan tidak ada lagi papan reklame rokok di sekitar sekolah,” tukasnya.
Ke depan, harap Fahira, di tengah banyak persoalan prioritas lain yang dihadapi Jakarta, Pemprov DKI juga idealnya menyelipkan program-program komprehensif untuk menjadikan Jakarta menjadi kota layak anak dan ramah terhadap perempuan sehingga bisa menjadi baromater bagi kota-kota lain di Indonesia.