Pemilukada Potensial dan DPT Fiktif

Inggar Saputra | SuaraJakarta.com

DALAM sebuah sistem demokrasi, pemilu kepala daerah (pemilukada) adalah momentum strategis melakukan pergantian kepemimpinan. Ajang pesta rakyat ini dianggap sebagai bagian penting dimana rakyat diberikan kesempatan memilih pemimpin untuk lima tahun mendatang. Tidak heran, banyak kalangan mengharapkan pemilukada membentuk kekritisan rakyat dalam menilai kualitas calon pemimpinnya. Ketika pemilukada berhasil diharapkan lahir pemimpin unggul, visioner dan pro rakyat.

Untuk konteks pemilukada DKI Jakarta, keberhasilan kontestasi pemilihan adalah tolak ukur kemajuan demokrasi Indonesia. Jakarta sebagai ibukota negara menjadi sorotan dalam ajang pergelaran event lima tahunan ini. Dalam pemilukada tahun 2012 tercatat sebanyak enam pasangan akan memperebutkan tiket memimpin Jakarta lima tahun mendatang. Semuanya menjanjikan kepemimpinan visioner dan menganggap dirinya sebagai pejuang rakyat.

Semua boleh mengklaim sebagai pro rakyat, tapi perlu diingat rakyat Jakarta sudah bergerak menuju alam pemikiran rasional. Berbagai hasil survey, bukan sebuah kepastian membanjirnya dukungan rakyat Jakarta sehingga mudah memenangi pemilukada. Kita bisa belajar bagaimana data statistik hanya sebuah proses ilmiah, bukan hasil akhir konstestasi dari pertandingan menuju kepastian memimpin DKI Jakarta. Rakyat Jakarta ke depan membutuhkan kerja nyata, bukan penilaian semu yang diukur berdasarkan data statistik.

Kecurangan Pemilih Fiktif

Kita boleh berharap kesuksesan Pemilukada DKI Jakarta sebagai barometer kesuksesan demokrasi Indonesia. Harapan itu muncul karena demokrasi DKI Jakarta adalah lambang keteladanan berdemokrasi secara nasional. Sebab itu, semestinya DKI Jakarta menjadi contoh terbaik terkait sistem kependudukan untuk mendukung proses demokrasi. Apalagi, KPU DKI Jakarta sudah menjamin keberlangsungan pemilukada DKI Jakarta berjalan bersih. Para cagub dan cawagub baik yang diusung partai politik dan independen juga menyatakan siap menyukseskan pemilukada DKI Jakarta yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

Keyakinan KPU DKI Jakarta semakin besar karena mereka menganggap sudah berhasil menetapkan Daftar Pemilih Tetap dengan baik. Berdasarkan data KPU DKI Jakarta menyebutkan Daftar Pemilih Tetap Pemilukada DKI Jakarta sebanyak 6.982.179 orang. Nantinya mereka akan memilih di 15.062 Tempat Pemungutan Suara (TPS). Masih menurut data itu, jumlah pemilih laki – laki mencapai 3.553.672 orang, sedangkan pemilih perempuan mencapai 3.428.507 orang. Penetapan DPT berlandaskan UU Nomor 15 tahun 2012dan peraturan KPU Nomor 12 tahun 2010 tentang pemutakhiran data pemilih.

BACA JUGA  FPKS DPRD DKI Kecam KPUD Soal Dibolehkannya DPTb Tanpa KK

Ironisnya, di tengah klaim kesuksesan menetapkan DPT. Kalangan partai politik memprotes kinerja KPU DKI Jakarta. Mereka menilai Pilkada DKI Jakarta rawan kecurangan karena masih membanjirnya DPT fiktif. Berdasarkan data Pusat Pergerakan Pemuda Indonesia (P3I) merilis setidaknya ada 1,4 juta pemilih fiktif (ghost voters) dikhawatirkan berpartisipasi dalam Pilkada DKI Jakarta yang digelar Juli mendatang. Sebab, 1,4 juta pemilih fiktif masuk dalam Daftar Pemilih Sementara (DPS). DPS itu berasal dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Pemda DKI Jakarta, khususnya Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.

Merespons adanya persoalan DPT fiktif, setidaknya lima partai politik meminta KPU melakukan audit terhadap daftar pemilih sementara (DPS) sebelum melakukan pleno DPT. Lima partai tersebut yakni Partai Keadilan Sejahtera, Partai Gerindra, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Golkar, dan PDI Perjuangan. Mereka menduga ada pemilih fiktif yang berjumlah 1,4 juta orang. Jika tidak dibereskan, mereka meminta pemilukada ditunda sampai proses verifikasi data selesai dijalankan.

Adanya persoalan DPT fiktif menandakan buruknya kinerja KPU dalam mengelola pendataan untuk kepentingan strategis seperti Pilkada. Apalagi kejadian DPT fiktif bukan sekali saja terjadi. Sebelumnya pada Pemilukada DKI Jakarta tahun 2007 ditemukan banyak pemilih fiktif. Ketika itu Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP Universitas Indonesia dan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) mencatat sebanyak 20-23 persen pemilih DKI yang tidak terdaftar. Posisi mereka digantikan oleh pemilih yang terdaftar lebih dari satu kali (pemilih ganda) dan pemilih fiktif atau orang yang masuk dalam daftar pemilih, sementara ketika dicari di alamat yang bersangkutan, mereka sudah tidak ada lagi.

Kondisi yang sama kembali terjadi pada Pemilu 2009 sehingga banyak pihak yang merasakan ditugikan dari “kecelakaan” maraknya DPT fiktif. Menyedihkan sekali melihat kondisi itu kembali terulang dalam proses berdemokratisasi. KPU DKI Jakarta sebagai ujung tombak dalam pemutakhiran data pemilih tetap dianggap gagal menjalankan tugas secara maksimal. Mereka gagal belajar dari kesalahan yang menimpa KPU DKI Jakarta sebelumnya.

BACA JUGA  Satgas Tata Air Diterjunkan Untuk Benahi Saluran Sepanjang 1200 meter

Solusi Sosioteknologi

Ketidakberesan DPT adalah persoalan krusial yang membutuhkan penanganan mendesak. Sebab jika dibiarkan citra pemilukada DKI Jakarta akan rusak, KPU DKI Jakarta juga dinilai gagal menjalankan tugasnya. Untuk itu, dibutuhkan sebuah solusi yang menggabungkan pendekatan sosial dan kemajuan teknologi, informasi dan komunikasi. Solusi itu merupakan terapi sosial yang sistemik dalam menelusuri cacat daftar pemilih akibat buruknya proses dan infrastruktur kependudukan DKI Jakarta.

Dalam konteks sosial, diperlukan adanya keberanian KPU DKI Jakarta untuk terjun langsung ke bawah. Mereka harus mau dan mampu menelusuri kejanggalan yang terjadi di lapangan. Keberanian ini diperlukan agar pemilih fiktif dapat diberantas sehingga tidak berkembang sebagai benalu pesta demokrasi Jakarta. Sebab mengandalkan pola yang selama ini dijalankan yaitu bertumpu kepada personel RT/RW tidak pernah berjalan maksimal.

Sedangkan dalam pemanfaatan teknologi, KPU DKI Jakarta diharapkan menjalankan Grand Design Sistem Informasi KPU yang dirumuskan pakar informasi sejak 1998. Secara garis besar, GDSI merumuskan pentingnya pendaftaran pemilih yang terkait sistem kependudukan dimana meliputi 26 portofolio aplikasi untuk tahapan pemilu. . Strategi GDSI sebenarnya sudah dirancang dengan menggunakan teknologi dengan tingkat transparansi, efektivitas, reliabilitas, dan akuntabilitas yang tinggi. Tapi selama ini yang terjadi konsep GDSI hanya dijalankan setengah hati sehingga masih banyak terjadi perbedaan Data Penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) dan DPT.

Untuk itu, perlu penekanan serius dari kalangan masyarakat dan partai politik untuk mengawasi kinerja KPU DKI Jakarta. Adanya berbagai masukan harus ditanggapi serius sehingga proses demokrasi menghasilkan pemimpin yang bersih. KPU DKI Jakarta diminta bekerja cepat menyesuaikan data pemilih dengan fakta lapangan. Selain itu, solusi teknologi harus diterapkan sepenuh hati sehingga kecurangan sistemik tidak terus dibiarkan.

*Penulis adalah peneliti Institute For Sustainable Reform (Insure)

Inggar Saputra
Author: Inggar Saputra

Related Articles

Latest Articles