SuaraJakarta.co, JAKARTA – Koalisi masyarakat sipil yang fokus mendorong reformasi tata kelola sumber daya ekstraktif, Publish What You Pay Indonesia meminta Presiden Jokowi untuk segera menerbitkan aturan mengenai moratorium tambang. Hal itu bertujuan untuk meningkatkan tata kelola pertambangan dan sejalan dengan rekomendasi Koordinasi dan Supervisi (Korsup) sektor Minerba KPK untuk menertibkan izin-izin tambang yang bermasalah karena berada dalam kawasan hutan konservasi dan lindung.
Koordinator Nasional, PWYP Indonesia Maryati Abdullah mengatakan aturan moratorium tersebut diharapkan mampu menjelaskan gambaran teknis dan detil soal mekanismenya. Menurut dia, mekanisme itu penting agar kementerian dan pemangku kepentingan terkait seperti Kehutanan dan ESDM serta pemerintah daerah dapat langsung melaksanakannya. “Janji soal moratorium itu sudah sejak sebulan lalu diumumkan, jangan sampai ini hanya “angin surga” saja. Presiden harus segera menyusun aturan soal ini,” tegas Maryati, Senin (16/5).
Seperti diketahui, Jokowi menyatakan perlunya moratorium izin kebun sawit dan tambang di Gerakan Nasional Penyelamatan Satwa dan Tumbuhan Liar di Pulau Karya, Kepulauan Seribu pada 14 April 2016 lalu.
Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Askalani menyatakan, moratorium harus segera dieksekusi. Askalani menjelaskan, berkaca dari kebijakan moratorium tambang yang dilakukan oleh pemerintahan Aceh melalui Instruksi Gubernur no 11/2014 tentang Moratorium Izin Usaha Pertambangan Mineral Logam dan Batubara yang diberlakukan selama dua tahun, justru berdampak positif bagi perbaikan tata kelola sektor tambang. “Moratorium juga berhasil menekan laju kerusakan deforestasi hutan dan lahan di Aceh,” kata Askal.
Selain itu, kebijakan moratorium itu juga mendorong reformasi sektor perizinan dan kepatuhan jaminan reklamasi dan pasca-tambang. “Sehingga moratorium adalah langkah tepat untuk perbaikan atas mekanisme tata kelola minerba yang belum baik di Indonesia,” tegas Askalani.
Askalani menyebutkan selama moratorium, Aceh berhasil mencabut IUP dari 138 menjadi 58 IUP yang aktif dan CnC dan sisanya dicabut atas rekomendasi. Selain itu, moratorium mampu berhasil mengembalikan lahan total 434.485 hektar dari total IUP 138. IUP sebelum moratorium 841.648 hektar dan setelah moratorium 407.162 hektar. “Keberhasilan ini juga tidak terlepas dari peran masyarakat sipil yang terus mengawal perjalanan moratorium ini,” ujar Askalani.
Arif Munandar, peneliti Swandiri Institute dari Kalimantan Barat menyatakan, pemerintah juga perlu belajar dari kebijakan moratorium atau penundaan izin baru berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.323/Menhut-II/2011 tanggal 17 Juni 2011 tentang Penetapan Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPIB) Pemanfaatan Hutan, Penggunaan Kawasan Hutan dan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan Lain, dinilai gagal memberikan jalan keluar terhadap perbaikan kondisi ekologis dan sosial.
“Penyebab utamanya adalah kebijakan tersebut tidak mendorong adanya penegakan hukum terhadap pelanggaran perizinan dalam kawasan moratorium. Prakteknya wilayah moratorium justru tetap diberikan izin usaha sektor ekstraktif. Saat ini setidaknya telah ada sembilan kali perubahan Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PPIB), yang terjadi peta moratorium beradaptasi dengan izin yang telah melakukan pelanggaran dalam kawasan hutan. Hal tersebut tentu saja mengindikasikan adanya ketidak-tegasan terhadap upaya penegakan hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran izin dalam kawasan hutan,” tegas Arif.
Menurut Arif, saat ini tumpang tindih antara izin tambang dengan kawasan hutan konservasi dan lindung masih banyak terjadi. Karena itu, kebijakan moratorium seharusnya tidak hanya fokus pada penghentian izin baru saja. Hal terpenting, menurut Arif, perlunya penegakan hukum terhadap praktek-praktek pelanggaran yang dilakukan oleh pemberi kebijakan dan penerima izin atau badan usaha. “Jangan sampai dengan adanya moratorium penegakan hukum malah tidak berjalan. Selain itu, perlu juga penyelesain konflik sosial, perbaikan kondisi lingkungan dan penataan perizinan,” tegas Arif.
Carolus Tuah, Direktur Pokja 30 Kalimantan Timur menyatakan agar aturan tersebut jangan berhenti di moratorium namun juga aspek penegakan hukum harus tetap dijalankan. “KPK juga perlu dilibatkan dalam aspek penegakan hukum pasca-moratorium di aspek tindak pidana korupsi,” tegas Tuah.
Tuah juga meminta Presiden Jokowi untuk serius dan tidak bermain wacana soal moratorium ini. Menurut dia, buruknya tata kelola minerba di Kalimantan Timur khususnya di Samarinda terlihat dari banyaknya anak-anak yang mati di lubang bekas tambang yang tidak dipulihkan atau reklamasi. “Berwacana moratorium sama dengan membuat antrian kematian,” tukas Tuah.
Untuk diketahui, saat ini masih terdapat sebanyak 6,3 juta hektar izin tambang masih berada di Hutan Konservasi (1,37 juta hektar) dan Hutan Lindung (4,93 juta hektar), padahal UU 41/1999 tentang Kehutanan menyebutkan kedua wilayah tersebut harus bebas dari industri pertambangan.