Mengingat Kembali Kasus Sumber Waras, Kapan KPK Periksa Ahok?

SuaraJakarta.co, JAKARTA – Mengingat kembali kerugian negara sebesar Rp 191 miliar yang dilakukan oleh Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama “Ahok” dalam kasus pembelian lahan RS Sumber Waras. Menurut BPK, Ahok telah melakukan tindakan di luar prosedur dalam proses pengadaan lahan sebesar 3,6 hektare tersebut.

Poin terpenting dari audit investigasi yang dilakukan BPK itu adalah adanya selisih harga yang sangat signifikan dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) RS Sumber Waras yang mencapai Rp 20.755.000, dari nilai aslinya sebesar yang hanya Rp. 7.440.000. Hasil audit investigasi ini pun telah sepenuhnya diserahkan kepada KPK untuk segera memeriksa Ahok.

Pengamat Kebijakan Publik Amir Hamzah mencoba menerangkan bahwa ada upaya sistematis yang dilakukan Ahok untuk memaksakan agar mega proyek pengadaan lahan di Jalan Tomang Utara itu masuk dalam APBD Perubahan 2014.

‎”Soal NJOP, ada keanehan yang cukup fundamental. Ya beginilah kalau sejak awal memang proyek ini dipaksakan. Sehingga semuanya penuh rekayasa,” kata Amir sembari menunjukkan setumpuk document rekayasa Ahok, di Jakarta, Sabtu (2/1/2015).

Upaya pemaksaan tersebut terlihat dari pelanggaran hukum yang dilakukan Ahok dimana dirinya menyetujui harga yang ditawarkan pihak Yayasan RS Sumber Waras, Kartini Muljadi, dengan NJOP sebesar Rp. 20.775.000, pada tanggal 8 Juli 2014.

Padahal, menurut Amir, saat itu Ahok masih berstatus sebagai Plt Gubernur DKI dan semestinya yang berhak menentukan NJOP adalah Dinas Penilaian Pajak Pemprov DKI.

“Ingat, yang menentukan NJOP itu bukan Ahok. Tapi, harus Dinas Penilaian Pajak Pemprov DKI sebagai pelaksanan kebijakan keuangan daerah,” jelas Amir yang telah berulang kali mendatangi KPK untuk menyampaikan informasi pelanggaran hukum ini.

Di saat yang sama, Kepala Dinas Kesehatan DKI, dr. Dien Emawati, baru mengajukan surat Permohonan Keterangan NJOP Tanah Yayasan Kesehatan Sumber Waras bernomor 10173/-1.711.62 kepada Kepala Dinas Pelayanan Pajak Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 16 Desember 2014.

“Tapi, anehnya, sebelum surat jawaban dari Dinas Pelayanan Pajak keluar pada tanggal 17 Desember 2014, antara Kepala Dinas Kesehatan DKI, dr. Dien Emawati dan Ketua Yayasan Kesehatan RS Sumber Waras, Kartini Muljadi, sudah terjadi akte pelepasan hak dengan harga Rp 20.755.000 yang dilakukan di depan notaris,” jelas Amir.

Sehingga, setelah terjadi pertemuan tersebut, tiba-tiba Kepala Dinas Pelayanan Pajak mengeluarkan surat jawaban pada tanggal 29 Desember 2014. “Yang isinya menyatakan NJOP itu sebesar Rp. 20.755.000,” papar Amir.

“Ini jelas ada upaya pengkondisian yang sistematis, meski realisasinya amburadul. Jadi, surat dari Dinas Pelayanan Pajak itu, saya menduga, si Kepala Dinas Pelayanan Pajak mengeluarkan surat tersebut karena ditekan dan diperintah oleh Ahok, demi ‘melegalkan’ persekongkolannya dengan pihak Yayasan RS Sumber Waras,” duga Amir.

Ahok menegaskan, jika tidak ada maksud jahat yang ingin dilakukan, maka semestinya Ahok tidak perlu terburu-buru menetapkan NJOP tanpa melibatkan SKPD, yaitu Dinas Pelayanan Pajak untuk menetapkan NJOP. Faktanya, transaksi sudah dilakukan terlebih dahulu, bahkan di hadapan notaris, baru surat jawaban NJOP menyusul.

“Jika tidak ada udang di balik batu, Ahok harusnya tidak perlu buru-buru, karena dia musti nunggu dulu hingga Dinas Pelayanan Pajak mengeluarkan NJOP. Baru, setelah itu dilanjutkan dengan transaksi. Kalau ini kan tidak, lahan sudah dibayar, sudah terjadi di depan notaris, baru NJOP nyusul,” tegas Amir.

Related Articles

Latest Articles