Pengendalian Inflasi akan Sulit Jika Harga BBM Fluktuatif

SuaraJakarta.co, JAKARTA – Anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR-RI, Ecky Awal Mucharam menilai pengendalian inflasi akan semakin sulit jika harga BBM fluktuatif. Demikian disampaikan Ecky di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (27/1).

Pemberlakuan tarif pasar harga BBM bersubsidi yang bisa naik turun kapan saja buruk bagi pengendalian inflasi. Karena mayoritas harga barang, terutama pangan masih sangat terpengaruh oleh harga BBM.

“ Ketika harga BBM naik, harga-harga barang akan naik. Tetapi ketika turun, harga-harga barang tidak turun. Sehingga kecenderungannya inflasi tetap tinggi. Dan ini buruk,” tegas Ecky.

Menurutnya, harga BBM bersubsidi yang dinaikkan pada tanggal 1 November 2014 telah mendorong inflasi naik. Tetapi ketika harga premium turun dari Rp 8.500/liter menjadi Rp 7.600/liter sementara harga solar juga turun dari Rp 7.500/liter menjadi Rp 7.250/liter pada 1 Januari 2015, ternyata tidak berdampak pada penurunan biaya transportasi dan harga-harga barang. Demikian juga ketika pemerintah kembali menurunkan harga BBM bersubsidi untuk bensin premium menjadi Rp 6.600/liter dan solar menjadi Rp 6.400/liter pada 19 Januari 2015.

“Tidak ada penurunan harga-harga, padahal harga BBM bersubsidi sudah sangat dekat dengan harga awal, sebelum November 2014,” kata Ecky.

Ia juga menyampaikan contoh ketika masa Pemerintahan SBY yang menaikkan dan menurunkan harga BBM bersubsidi tetapi tidak berdampak pada penurunan harga-harga.

“Ketika dinaikkan, harga-harga naik tinggi. Tetapi ketika harga BBM diturunkan, sama sekali tidak berdampak pada turunnya harga kebutuhan pokok dan ongkos transportasi saat itu. Maka kalau harga BBM bersubsidi fluktuatif, maka akan berdampak buruk pada inflasi dan cenderung bias keatas,” ujar Ecky.

Selain itu, tren penurunan harga minyak juga kemungkinan tidak berlangsung lama. Tentu ketika harga minyak kembali rebound maka penaikan harga BBM Bersubsidi akan semakin sering. Ketika penyesuiannya naiknya sering maka dampak terhadap kenaikan harga-harga juga akan semakin besar.

“Ini harus benar-benar menjadi perhatian pemerintah. Kebijakan melepas harga BBM bersubsidi mengikuti mekanisme harga pasar harus ditinjau ulang. Karena kenaikan harga-harga dan pengendalian inflasi yang semakin sulit akan berdampak buruk bagi daya beli rakyat kecil,” tutur Ecky.

Badan Pusat Statistik (BPS) telah melaporkan tingkat inflasi nasional pada 2014 cukup tinggi mencapai 8,36 persen. Tingkat inflasi yang relatif tinggi ini dipengaruhi oleh komoditas yang harganya berfluktuasi sepanjang tahun 2014, diantaranya kenaikan harga BBM bersubsidi yang menyumbang andil 1,04 persen. Selain itu, tarif listrik menyumbang andil inflasi pada 2014 sebesar 0,64 persen, angkutan dalam kota 0,63 persen, cabai merah 0,43 persen, beras 0,38 persen dan bahan bakar rumah tangga 0,37 persen.

“Yang juga perlu kita cermati adalah dampaknya nanti terhadap inflasi komponen harga pangan bergejolak atau volatile food. Akibat kenaikan harga BBM tahun 2014 angka inflasinya mencapai 10,88 persen dan tahun 2013 bahkan mencapai 13,8 persen. Artinya beban rakyat kecil dan tekanan terhadap daya beli mereka dengan kenaikan harga-harga pangan sangat besar dari dampak kebijakan tersebut. Ini harus menjadi perhatian serius,” pungkasnya.

Related Articles

Latest Articles