SuaraJakarta.co, JAKARTA – Persoalan di TPST Bantar Gebang ternyata bukan sekadar perseteruan antara Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama “Ahok” dengan DPRD Kota Bekasi. Lebih penting daripada itu, ternyata TPST yang dikelola oleh PT Gondang Tua Jaya ini sangat bernilai ekonomis ratusan juta rupiah per bulan bagi warga sekitar.
Hal itulah yang dirasakan oleh Sukandi. Pria setengah baya yang berprofesi sebagai pengumpul (pemulung) limbah sampah ini omzet per bulannya bisa mencapai Rp 250 juta. Bahkan, dari penghasilannya tersebut kini ia dapat menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi. Dari bekerja mengais sampah ini, ia telah memiliki rumah mentereng di kampung halamannya di Subang, Jawa Barat.
“Saya ini masih standar. Masih jauh (pendapatannya) dibandingkan teman-teman saya yang lain, seperti Dahri dan Iwan yang karyawannya lebih banyak,” papar Subandi, Minggu (9/11).
Subandi memang tidak bohong. Menurutnya, ia belumlah tergolong sukses. Ia mengaku masih banyak rekan-rekannya yang mendapatkan omzet lebih besar dari dirinya di TPST Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat.
Kepada suarajakarta.co, Minggu (9/11), Sukandi menjelaskan bahwa tiap hari dirinya menampung sampah plastik dari bekas kantong minyak goreng dan bungkus sabun cair isi ulang. Dirinya mengaku dibantuk 8 (delapan) orang pekerja dalam memilah sampah.
“Mereka tugasnya ada yang nimbang, nggiling, ngarungin, terus muat buat dibawa ke pabrik. Kalau saya standby saja nunggu kiriman,” kata Sukandi, yang sehari-hari sibuk mencatat transaksi sampah itu di buku catatannya.
Dalam bisnis sampah Bantargebang menurut Subandi, ada tiga mata rantai yang terkait, yakni pemulung, pelapak, dan pengepul. Seorang pelapak membawahi pemulung dan membeli sampah-sampah yang sudah disortir. Si pelapak pulalah yang menyiapkan tempat tinggal ala kadarnya buat para pemulung binaannya.
Dari pelapak, Subandi kemudian menjadi pengepul. Setiap minggu, ia menyuplai plastik bekas ke sejumlah pabrik pembuat ember di Jakarta dan Tangerang. Setiap minggu, ia bisa kirim kepada penjual sekitat 40-50 ton plastik bekas.
Diketahui, aliran duit yang tidak sedikit membuat Bantargebang menjadi magnet bagi ratusan warga dari sejumlah daerah untuk mengais rezeki. Di sini pengepul bisa jadi kaya raya. Pemulung pun mendapatkan uang yang lumayan.
Trisno, pemulung asal Indramayu, Jawa Barat, mengaku meraup Rp 100 ribu dalam sehari. Wardi tinggal di Bantargebang bersama anak dan istrinya di sebuah bedeng yang disediakan bosnya, pemilik lapak. Setiap bulan, ia mendapat subsidi Rp 300 ribu, dengan catatan harus mengumpulkan dan merapikan sampah sebelum dijual kepada bosnya.
Demi duit, bau menyengat dan kotoran yang berserakan tidak lagi dihiraukan. “Pertama kali datang ke sini (Bantargebang), saya seminggu tidak bisa makan. Tapi sekarang sudah biasa,” ucap Yayat, pengepul asal Menes, Pandeglang, Banten, yang menjadi pengepul sejak 1993, kepada suarajakarta.co. Selain harus kuat mencium bau tidak sedap, para pelaku bisnis sampah di Bantargebang harus kuat nyali. Sebab, tidak jarang terjadi gesekan di antara mereka sendiri. (nano/iman)