CIDES: Rush Money Seharusnya Jadi Renungan Perbankan

SuaraJakarta.co, JAKARTA – Masih banyaknya ketidakpuasan dalam proses hukum Basuki Tjahja Purnama atas dugaan penistaan agama beberapa waktu silam, membuat banyak kalangan melakukan berbagai aksi protes. Selain dengan aksi unjuk rasa, aksi lainnya yang juga sedang ramai diperbincangkan adalah aksi Rush Money yang rencananya akan dilakukan pada 25 November 2016 besok. Aksi Rush Money for Justice ini disebut-sebut sebagai bentuk kekesalan masyarakat atas lambannya proses hukum kepada Gubernur DKI Jakarta tersebut.

Dalam perspektif yang berbeda peneliti Center for Information and Development Studies (CIDES) Indonesia, Fikri Ismail manyampaikan bahwa Rush Money for Justice ini seharusnya juga menjadi renungan bagi kondisi perbankan di Indonesia saat ini.

“Seharusnya ini bisa manjadi introspeksi bagi perbankan kita. Uang yang dihimpun dari masyarakat tidak digunakan untuk menopang ekonomi dalam bentuk (penyaluran) kredit, akibatnya sektor riil mogok. Di sisi lain, laba bank dari surat utang kian berkibar tinggi, ekonomi tumbuh tidak sehat,” ujar Fikri saat dihubungi redaksi SuaraJakarta, Selasa (22/11).

Ia juga menuturkan, ketakutan bank mengambil resiko menghadapi kredit macet membuat ekonomi berjalan semakin sulit. Sektor riil yang diharapkan mampu menjadi penggerak ekonomi domestik, pertumbuhannya justru mengalami tren penurunan sejak 2013. Ekonomi yang berkembang belakangan ini semakin tidak pekat dengan penyerapan tenaga kerja baru.

“Sekarang ini ekonomi kita tumbuh dengan sulit. Kendatipun economic growth masih tinggi, tidak banyak pengaruh dalam penciptaan lapangan kerja baru. Pertumbuhan ekonomi banyak didorong oleh sektor keuangan yang tidak terintegrasi ke sektor riil,” ungkap pria yang sedang menyelesaikan studi masternya dalam bidang finance di National Chiao Tung University, Taipei ini.

Lebih lanjut ia menerangkan bahwa sebetulnya tingkat kredit macet masih berada dalam batas aman yaitu dibawah 5%. Namun sayangnya, perbankan tidak ingin mengambil resiko dan lebih memilih menitipkan uangnya di surat utang Negara. Hasilnya bisa ditebak, jumlah kredit tahun ini diperkirakan hanya akan tumbuh single digit pada kisaran 7 -8%.

Di sisi lain, Fikri juga mengharapkan agar instrumen baru BI yang dikenal dengan 7 days repo rate dapat berfungsi optimal menyesuaikan perubahan bunga lebih cepat, demi ‘merangsang’ perbankan untuk meningkatkan penyaluran kredit, terutama pada sektor manufaktur.

“Bagaimanapun, ekonomi akan lebih sehat jika bertumpu pada sektor riil. Sembari kita juga berharap ‘keajaiban’ dari 7 days repo rate yang diyakini mampu menyesuaikan perubahan bunga lebih cepat. Walaupun tanda-tanda yang ada belum mengarah kesana,” tegasnya.

Related Articles

Latest Articles