Kekerasan Wacana Ade Armando

Oleh: Yons Achmad (Pengamat Komunikasi. Direktur Komunikasyik)

SuaraJakarta.co, Jakarta – Banyak orang mengutuk kekerasan dan penganiayaan Ade Armando, tapi lupa bagaimana kekerasan wacana membabi buta dilakukan terus menerus olehnya. Saya tentu tidak pro kekerasan, baik fisik maupun wacana.

Hanya saja, seperti kata ungkapan Pramoedya Ananta Toer yang terkenal untuk “Adil Sejak dalam Pikiran,” maka begitu juga mendudukan kasus yang menimpa Ade Armando. Tidak serta merta mengutuk mereka yang melakukan kekerasan fisik, sementara membiarkan kekerasan wacana terjadi sebelumnya. Singkatnya, kekerasan wacana dan kekerasan fisik sama bahayanya.

Kekerasan fisik, semua sudah tahu. Sementara, kekerasan wacana, mungkin perlu penjelasan sedikit. Terkait dengan wacana, saya meminjam pengertian yang dipaparkan oleh Prof. Ibnu Hammad dalam buku “Komunikasi Sebagai Wacana” (2010) bahwa dirasakan atau tidak, sebagian besar, kalau tidak dikatakan seluruhnya, ketika berkomunikasi, sesungguhnya kita sedang membangun wacana (discourse). Yaitu, tindakan kita menggunakan bahasa sesuai kaidah tata bahasa tetapi kita masukkan ke dalamnya unsur-unsur non bahasa.

Di sini, kita tidak lagi sekadar berkata atau menulis ketika hendak menyampaikan pesan. Kita bukan sebatas mengikuti tata bahasa ketika menggunakannya berkomunikasi. Kita menambahkan unsur-unsur non bahasa entah itu kepentingan pribadi, ekonomi, politik ataupun ideologi ke dalam bahasa.

Melihat, pemahaman demikian, jelas, jejak wacana Ade Armando sangat problematis. Di media sosial, dia dengan frontal misalnya menyerang kelompok lain yang dinilai berseberangan pandangan dengannya. Juga, sering melontarkan wacana keagamaan yang kontroversial, yang tidak sesuai dengan kapasitasnya. Dia bukan ahli agama, tapi seringkali melontarkan pernyataan-pernyataan seolah seorang ulama besar yang punya segudang kapasitas.

Contohnya, dia pernah bilang tidak ada perintah salat lima waktu tertulis di dalam Al-Quran, azan tidak suci, azan itu cuman panggilan salat, sering tidak merdu. Di Facebook dia pernah menulis “Orang pintar milih Ahok. Orang bodoh milih Anies. Jadi kalau sekarang Ahok kalah artinya jumlah orang bodoh jauh lebih banyak daripada orang pintar.” Di lain kesempatan bilang bahwa tidak ayat Al Quran yang mengharamkan perilaku LGBT, bilang juga Allah bukan orang Arab, mengunggah meme Habib Rizieq bersama sejumlah ulama mengenakan topi Santa Claus.

Dan ini yang perlu dicatat, dia benarkan polisi dalam kasus unlawful killing (pembunuhan di luar hukum) atas kasus penembakan di KM 50 Tol Cikampek yang menewaskan 6 pemuda laskar FPI. Dalam artian, untuk yang berseberangan pandangan, dia ternyata pro kekerasan (fisik) juga. Artinya pula, di sini ada standar ganda.

Terkait kekerasan wacana yang dilakukan, sejauh ini Ade Armando aman-aman saja. Seolah tidak pernah tersentuh hukum. Pernah beberapa kali dilaporkan ke polisi, tapi sampai sekarang tidak pernah jelas kelanjutannya.

Rekam jejak Ade Armando sendiri sebenarnya bagus ketika menjadi akademisi komunikasi. Aktif dalam gerakan literasi media. Dulu pernah aktif di MARKA (Media Ramah Keluarga), aktif menulis kolom dan menjadi pembicara publik. Buku berjudul “Televisi Jakarta Di Atas Indonesia” dan “Televisi Indonesia Di Bawah Kapitalisme Global” ditulisnya. Hanya saja, kiprahnya dalam isu agama sejak bergabung dan aktif di JIL (Jaringan Islam Liberal) membuatnya banyak lahirkan kontroversi. Apalagi beberapa tahun terakhir aktif sebagai “Buzzer” politik memaksanya terus membuat beragam konten. Termasuk konten “Pansos” pada aksi mahasiswa pada 11 April 2022 di DPR yang berujung pengeroyokan.

Nah, tindakan pengeroyokan terhadap Ade Armando itu harus dilihat secara lebih masuk akal. Semuanya itu berawal dari kekerasan wacana yang dilakukannya. Tidak lain dan tidak bukan. Jadi, inilah yang kemudian perlu menjadi pelajaran bagi semua. Bahwa, kekerasan wacana sebenarnya lebih berbahaya karena berpotensi memecah belah bangsa juga melukai hati banyak orang. Bagi yang dekat dengan kekuasaan barangkali merasa aman bicara apa saja.

Akan tetapi, kesabaran publik tentu ada batasnya. Di sini, tentu saya tidak sepakat pada tindakan kekerasan fisik terhadap korban Ade Armando. Hanya saja, harus melihatnya secara lebih luas. Anda boleh bilang tindakan menghajar Ade Armando itu biadab. Tapi, juga harus ingat, kekerasan wacana yang dilakukan Ade Armando yang seolah bebas bicara apa saja, merasa benar paling benar sendiri sampai dengan enteng meremehkan dan menghina ulama, termasuk MUI, tentu juga tindakan yang tak kalah biadabnya.[***]

Related Articles

Latest Articles