Mendidik Anak Sesuai Fase dan Fitrah Seksualnya

SuaraJakarta.co, JAKARTA – Sebelumnya, Anda harus tahu apa itu fitrah. Fitrah adalah kondisi yang diciptakan Allah sesuai kepribadian anak yang sesungguhnya telah ada sejak lahir. Diantaranya fitrah iman, fitrah belajar, fitrah bakat dan fitrah seksualitas.

Mendidik anak sesuai fitrah seksualitas artinya mengenalkan anak bagaimana bersikap, berpikir, dan merasa seperti gendernya. Jika ia anak perempuan, maka kita bangkitkan fitrah seksulitasnya sebagai perempuan. Jika ia laki-laki, maka kita bangunkan fitrah seksualitasnya sebagai laki-laki.

Bagaimana teknis membangkitkan fitrah seksualitas ini? Ada beberapa tahap yang perlu kita kawal di tiap fasenya. Almeera Course Centre memaparkan pendidikan pada fase seksualitas anak.

1. Usia 0 – 2 tahun
Pada usia ini anak harus dekat dengan bundanya. Pendidikan tauhid pertama adalah menyusui anak sampai 2 tahun. Menyusui, bukan memberi asi. Langsung disusui tanpa pumping dan tanpa disambi pegang hp.

2. Usia 3 – 6 tahun
Pada usia ini anak harus dekat dengan kedua orang tuanya. Dekat dengan bundanya, juga dekat dengan ayahnya. Perbanyak aktivitas bersama.

3. Usia 7 – 10 tahun
Pada usia ini dekatkan anak sesuai gendernya. Jika anak laki-laki, maka dekatkan dengan ayahnya. Ajak anak beraktivitas yang menonjolkan sisi ke-maskulin-annya. Seperti mencuci motor, akrab dengan alat-alat pertukangan, dan lain sebagainya.

Jika anak perempuan, maka dekatkan dengan bundanya. Libatkan anak dalam aktivitas yang menonjolkan ke-feminin-annya. Seperti setop katering dan banyak utak atik di dapur bersama anak, melibatkan saat bersih2 rumah, menjahit dan sebagainya.

4. Usia 11 – 14 tahun
Usia ini sudah masuk tahap pre aqil baligh akhir dan pada usia ini mulailah switch/menukar kedekatan (Lintas gender). Jika anak laki-laki, maka dekatkan pada bundanya. Jika anak perempuan, maka dekatkan pada ayahnya.

Ada sebuah riset yg menunjukkan jika seorang anak perempuan tidak dekat dengan ayahnya pada fase ini maka data menunjukkan anak tersebut 6x lebih rentan akan ditiduri oleh laki-laki lain.

Di sebuah artikel parenting, tekah ditemukan hal senada. Jika tidak dekat dengan ayahnya, maka anak perempuan akan mudah terpikat dengan laki-laki yang menawarkan perhatian dan cinta meski hanya untuk kepuasan dan mengambil keuntungan semata. Logis juga sih. Saat ada laki-laki yang memuji kecantikannya, mungkin ananda gak gampang silau karena ada ayahnya yang lebih sering memujinya.

Kalau ada laki-laki yang memberikan hadiah, ananda tak akan gampang klepek-klepek karena ada ayahnya yang lebih dulu mencurahkan perhatian dan memberi hadiah.

Pada fase ini jika anak perempuan harus dekat dengan ayahnya, maka sebaliknya, anak laki-laki harus dekat dengan bundanya. Efek yang sangat mungkin muncul jika tahap ini terlewat, maka anak laki-laki punya potensi lebih besar untuk jadi suami yang kasar, playboy, dan tidak memahami perempuan.

Kalau orang tuanya bercerai atau LDR bagaimana?

Solusinya adalah hadirkan sosok lain sesuai gender yang dibutuhkan. Misal saat ia tak punya ayah, maka cari laki-laki lain yang bisa menjadi sosok ayah pengganti. Bisa kakek, atau paman.

Sama dengan rasulullah. Meskipun tak punya ayah dan ibu, tapi rasulullah tak pernah kehilangan sosok ayah dan ibu. Ada kakek dan pamannya. Ada nenek, bibi dan ibu susunya.

Fase berikutnya setelah 14 tahun bagaimana? Sudah tuntas. Karena jumhur ulama sepakat usia 15 tahun adalah usia aqil baligh. Artinya anak kita sudah “bukan” anak kita lagi. Ia telah menjelma menjadi orang lain yang sepadan dengan kita.

Maka fokus dan bersabarlah mendampingi anak-anak, karena kita hanya punya waktu 14 tahun saja. (JML)

Related Articles

Latest Articles