SuaraJakarta.co, Jakarta – Sebagai ibukota negara adalah kota dengan penduduk padat. Saat ini, jumlah penduduk DKI Jakarta mencapai sekitar 9,6 juta jiwa pada malam hari. Sedangkan siang hari bisa mencapai 11 juta jiwa. Jumlah itu tidak kecil dan sangat potensial jika dikelola dengan baik. Apalagi IPM Jakarta diklaim terus mengalami peningkatan hingga mencapai 77,8%. Ini menunjukkan betapa SDM Jakarta sangat unggul dalam bidang kesehatan, pendidikan dan kemampuan daya beli dibandingkan kota lain.
Tapi klaim keunggulan IPM itu layak dipertanyakan mengingat masih buruknya kesehatan masyarakat Jakarta. Sampai sekarang, Jakarta tercatat menempati urutan ketiga dalam jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia. Sementara untuk peringkat pertama dan kedua diduduki, Papua (133,07 kasus) dan Bali (45,45 kasus). Itu artinya, tingkat kesehatan penyakit mematikan ini masih tinggi dan memiliki potensi besar.
Ironisnya, berdasarkan data KPA tahun 2010 sejak pertama ditemukan pada 1987 hingga Desember 2010, jumlah penderita HIV/AIDS di Jakarta tercatat 8.549 orang. Dari 4.200 pekerja tempat hiburan yang diiperiksa KPA, 20% – 30% dipastikan positif mengidap HIV/AIDS. Di Jakarta sendiri terdapat 155 tempat hiburan yang terdiri dari karaoke (31), diskotik (25), klub malam (5), mandi uap (5), music hidup (30), griya pijat (56) dan pusat olahraga kesegaran jasmani (3).
Peningkatan kasus HIV/AIDS di Jakarta memang meningkat hampir 100%. Ini diakui oleh Dinas Kesehatan DKI Jakarta. Dari hasil riset Seksi Surveilans Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta per November 2010, jumlah kasus AIDS mencapai 1.380 kasus dengan 278 kasus kematian. Padahal pada 2009, jumlah kasus AIDS Jakarta hanya 603 kasus dengan 175 kasus kematian.
Dari sejumlah wilayah di DKI Jakarta, Jakarta Pusat terdapat 358 kasus, dengan 218 kasus HIV dan 140 kasus AIDS. Jakarta Utara sebanyak 303 kasus (160 kasus HIV dan 143 kasus AIDS). Jakarta Barat sebanyak 347 kasus (216 kasus HIV dan 131 kasus AIDS). Jakarta Selatan sebanyak 372 kasus ( 177 kasus HIV dan 195 kasus AIDS). Jakarta Timur sebanyak 501 kasus (217 kasus HIV dan 501 kasus AIDS).
Maraknya penyebaran HIV/AIDS tentu meninggalkan kesan dan stereotipe buruk. Kota besar seperti Jakarta dianggap cenderung rawan penyimpangan seksual. Apalagi jamak diketahui beberapa tempat di Jakarta sebagai tempat mangkal pekerja seks komersial (PSK).
Solusi Instan
Melihat kondisi penyimpangan seksual yang tinggi, pemerintah provinsi DKI Jakarta seharusnya berbenah. Kesadaran masyarakat harus ditumbuhkan agar tidak terus memperburuk kondisi yang ada. Jangan sampai kebijakan yang dikeluarkan hanya sebatas lipstick belaka. Sehingga tidak mampu menghasilkan perubahan signifikan dan hanya terkesan tambal sulam.
Hemat penulis, ada beberapa kebijakan pemprov DKI Jakarta yang perlu mendapat catatan kritis. Pertama, agenda kondomisasi massal. Pemberian kondom marak dilakukan berbagai LSM peduli HIV/AIDS, kelompok masyarakat dan lembaga negara/instansi pemerintahanan. Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) misalnya menekan penyebaran HIV/AIDS dengan membagikan kondom kepada PSK. Ini jelas sebuah cara instan yang bersifat temporer dan bukan tindakan solutif jangka panjang. Sebab tidak ada jaminan penggunaan kondom menekan penyebaran mematikan ini.
Seharusnya pemerintah membuat solusi preventif (bersifat pencegahan). Gerakan kondomisasi harus disetop dan mulai dikampanyekan seks sehat. Kondomisasi, mengutip Taufik Ismail sama dengan pembiaran GSM (Gerakan Syahwat Merdeka). Lebih baik pemprov DKI Jakarta menyerukan pernikahan sebagai solusi konkret memperbaiki tatanan sosial yang memburuk. Pernikahan dapat menghalalkan hubungan seks sehingga lebih produktif dan sehat. Apalagi semua agama dan aturan sosial menjadikan pernikahan sebagai solusi jitu mengatasi masalah penyimpangan seksual di masyarakat.
Kedua, pembiaran tempat hiburan malam. Selama ini Jakarta terlanjur salah kaprah menganggap tempat hiburan malam untuk dijadikan ajang pendapatan daerah. Kesalahan ini berdampak kepada setengah hatinya niat pemrpov menutup tempat hiburan malam.Padahal itu sudah menjadi ajang maksiat, banyak ditemukan transaksi narkoba dan tempat penyebaran HIV/AIDS. Sudah seharusnya kebijakan penutupan tempat hiburan malam digalakkan, jangan terbatas ketika menjelang momentum tertentu seperti Ramadhan. Apalagi secara ekonomi, masih banyak peluang pendapatan daerah dibandingkan hanya mengandalkan tempat hiburan malam sebagai pemasukan.
Ketiga, minimnya sosialisasi pencegahan dampak HIV/AIDS. Sarana sosialiasi pecegahan penyakit ini masih terasa kurang maksimal. Penyebaran pamflet belum menjangkau semua kalangan kecuali bagi masyarakat yang rajin datang ke tempat pemerintahan seperti puskesmas, kelurahan dan lainnya. Kerja LSM HIV/AIDS pun masih diragukan karena hanya kampanye gerakan instan seperti pemberian kondom. Pengenalan secara komprehensif kepada masyarakat masih belum banyak dilakukan pemerintah sehingga HIV/AIDS tumbuh subur dan berkembang.
Strategi KIE
Dalam mengatasi persoalan itu, pemerintah provinsi DKI Jakarta sebaiknya memaksimalkan pola solusi KIE (komunikasi, Informasi dan Edukasi)
Komunikasi menekan penyakit HIV/AIDS dapat dilakukan dengan sinergitas eluruh stake holders sesuai fungsinya masing-masing. LSM bisa bergerak memainkan ranah advokasi, pendampingan dan pencegahan sejak dini. Media massa difungsikan untuk sosialisasi secara luas kepada masyarakat dampak negatif perilaku seksual menyimpang dan bagaimana mencegahnya sedini mungkin. Mahasiswa dan pelajar juga perlu dilibatkan membuat metode atau gagasan segar mengampanyekan seks sehat. Pemerintah sebagai ujung tombak dapat bergerak pada ranah kebijakan sehingga dilahirkan pola aturan menekan makin tingginya penyebaran penyakit seksual ini. Semuanya jika terkomunikasikan baik diharapkan mengurangi potensi bahaya besar penyakit yang banyak menelan korban ini.
Selama ini, penyebaran informasi dan sosialisasi pencegahan penyakit HIV/AIDS masih belum merata. Banyak masyarakat terjangkit, salah satu penyebabnya adalah kurangnya pemahaman. Misalnya Orang HIV/AIDS (ODHA) dijauhi karena dianggap dapat menyebarkan penyakit ini melalui makanan dan barang yang dipakainya. Asumsi ini jelas keliru, sebab penyebaran penyakit ini justru dari infeksi hubungan seks dan jarum suntik.
Untuk itu, pemerintah harus mulai bergerak mengampanyekan seks sehat dan pencegahan HIV/AIDS sampai level terbawah misalnya melalui rapat RT/RW, majelis ta’lim, kelompok pengajian ibu-ibu dan pendekatan melalui tokoh keagamaan dan tokoh masyarakat. Pengarusutamaan forum itu berperan strategis dan prioritas. Sebab berdasarkan data Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) DKI Jakarta 2010, berdasarkan jenis kelamin, 78 persen pengidap HIV/AIDS adalah laki-laki dan 22 persen perempuan. Sedangkan berdasarkan faktor risiko, 50 persen adalah pengguna narkoba dengan jarum suntik dan 44 persen adalah heteroseksual.
Salah satu sarana edukasi adalah kampanye penanggulangan seks bebas dan dampaknya berupa HIV/AIDS kepada kalangan pelajar. Organisasi sekolah dan kampus seperti BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa), OSIS dan kelompok kerohanian sekolah (ROHIS) dapat diajak berpartisipasi sebagai penyelenggara acara. Bentuk kegiatannya dapat workshop, lomba karya tulis ilmiah atau seminar mencegah dampak buruk HIV/AIDS. Sebab dalam konteks remaja, pelajar dan mahasiswa termasuk kelompok usia produktif yang rawan terjangkiti penyakit HIV/AIDS.
*) Penulis adalah Peneliti Institute For Reform Sustainable