Tentang Mbak Jamu Di Pinggir Sebuah Pasar

“Mbak, kunyit asem ya, minum sini..”, seorang pembeli menghampiri.

“Yaa, sudah habis Bu. Alhamdulillah..”, jawabnya dengan sumringah.”Ini lagi bebenah, mau pulang”.

Sang pembeli melirik jam di lengannya: baru pukul 11. Well, bukan rejekiku, gumam calon pembeli. Ia berniat membeli jamu pada penjual jamu baru itu, sebab penjual jamu satu lagi di pasar yang sama juga telah merapikan dagangannya, tanda dagangannya ludes dibeli.

Di pasar kaget yang sebenarnya sudah beberapa kali digusur namun digelar lagi itu, memang ada setidaknya tiga penjual jamu gendong. Penjual jamu gendong yang tidak lagi menggendong jamu, namun menggelarnya bersama jejeran pedagang lain: pedagang sayur, buah, ikan, daging, ayam, beras dan yang lainnya. Dan salah satunya si mbak yang tadi sedang bersiap pulang setelah membenahi perkakas dagangnya di pinggir pasar.

Ia baru berjualan tiga bulan ini. Membantu suami, alasannya. Telah tiga bulan ini suaminya dirumahkan oleh perusahaan, demi perampingan jumlah karyawan. Pertumbuhan ekonomi yang melambat, ternyata berdampak pada keluarga kecil dengan dua anak ini.

“Habis, mau usaha apa lagi? Bisanya ‘cuma’ bikin jamu?”, jawabnya dengan logat Jawa Tengah yang kental, ketika ditanya pilihan caranya mencari nafkah.

Setiap pagi, sekitar pukul 6.30, sebelum matahari mulai terik, ketika telah masuk waktu dhuha, ia membawa semua perlengkapan dagangnya: botol-botol jamu yang disusun rapi dalam keranjang plastik, serta satu lagi keranjang kecil berisi jamu dalam kemasan dengan berbagai merk dan khasiat. Satu meja lipat kecil dia buka, di atasnya diletakkan keranjang isi botol-botol jamu itu, serta keranjang isi jamu bubuk dalam kemasan. Tak lupa sebuah ember kecil disediakan pula, dengan gelas-gelas kecil dan air bersih di dalamnya.

Dibawanya juga sebuah bangku plastik kecil, di situ ia duduk sambil menunggu pembeli, serta sambil meracik jamu pesanan pembeli. Tepat ketika semua sudah siap, ia duduk di sana, dengan jilbab rapi menutupi auratnya. Senyum ramah juga tak pernah lepas dari wajah bersihnya. Semua rutinitas itu baru beranjak ia lakukan setelah menyiapkan putri sulungnya berangkat sekolah, dan menyiapkan sarapan ala kadarnya bagi suami dan kedua putrinya. Jadi meskipun bekerja, ia tak lalai dengan urusan dapur.

Sebenarnya, jauh sebelum menggelar dagangan, pekerjaannya dimulai beberapa jam sebelumnya. Di sepertiga malam terakhir, sekitar pukul 2.30 dini hari, ketika seluruh manusia tengah lelapnya dalam buaian mimpi, ia sudah terbangun.

Bagi ahli ibadah, waktu tersebut biasa dipakai untuk bermunajat pada Tuhannya dengan sujud panjang dalam sholat tahajjud. Sebagian pula tengah asyik dengan kopi pekat dan segunung tugas lembur. Dan banyak pula yang tengah dalam fase non REM (rapid eye movement) tidurnya: nyenyak, setelah lelah beraktivitas siang hingga larut malam.

Namun wanita penjual jamu ini justru baru memulai aktivitasnya. Kunyit-kunyit kiriman dari emaknya di Banjarnegara dikupas, dicuci bersih, lalu diblender halus kemudian direbus, sebagian dicampur asam jawa, sebagian kunyit saja. Gula ditambahkan ketika air mendidih. Ini baru jamu kunyit, belum lagi ramuan jamu lain: beras kencur, sirih, pinang, ramuan pahitan, juga jahe dengan gula jawa manis yang selalu disajikan sebagai penutup semua jenis jamu. Setidaknya ada tujuh jenis yang ia harus siapkan dini hari itu. Semua bahan, selain dikirimi dari kampung, ia beli seminggu sekali ke pasar inpres.

Begitulah, hari-hari mbak Jamu yang baru 3 tahun terakhir ini menghiasi pakaiannya dengan hijab syar’i.

Ibarat jamu, hidup kadang harus merasakan getir dan langu dulu untuk bisa merasakan khasiatnya. Rasa getir memang bisa dikurangi dengan menambahkan madu, gula batu, tetesan jeruk nipis, atau mengunyah permen dan menelan wedang jahe manis di tegukan terakhir. Namun fase di mana indera pengecap di pangkal lidah dan tenggorokan mengecap getir itu memang sama sekali tidak bisa dihindari. Getir itu pasti selalu ada, tinggal bagaimana perasaan kita mempersepsikan rasanya: sebagai penderitaan yang menyedihkan, atau sebagai perjuangan yang menguatkan. Karena dari persepsi itulah semua anggota gerak tubuh bisa dikerahkan untuk menyikapinya.

Dan bagi Mbak Jamu ini, momen ketika dia harus mengambil alih tugas menafkahi keluarga ia persepsikan sebagai satu kesempatan baik untuk menyalurkan bakatnya meracik jamu. Ia tidak merasainya sebagai sebuah kerja yang melelahkan dan membuatnya menderita, sehingga tak sedikitpun keluh keluar dari mulutnya. Ia bahkan mengiringi semuanya dengan senyum. Dan di sanalah madu itu ia rasakan: nafkah terpenuhi, keberadaannya sebagai istri juga lebih dihargai. Nikmat mana lagi yang boleh diingkari?

Penulis: Sari Kusuma

Related Articles

Latest Articles