Smartphone Buat Bapak

Pusara itu penuh dengan taburan bunga, wangi, penuh warna. Wangi melati, kenanga, pandan, bercampur dengan wewangian mawar yang dicampurkan oleh penjual bunga di depan kompleks pemakaman ini.

Satu persatu kerumunan di sekitar pusara itu berkurang. Sebagian menyalami kami satu persatu sebelum mereka beranjak pulang. Semua berbelasungkawa.

Lalu, tinggallah kami semua: Anak, menantu, dan yang pasti Istri dari sosok yang berada di dalam pusara itu. Ibu tampak tegar, matanya basah, merah, namun ia tak meraung-raung tangisnya. Meski kematian Bapak begitu mendadak: tanpa firasat apapun, tanpa sakit keras yang berkepanjangan, tanpa pesan apapun, namun Ibu tampak tegar.

Bapak meninggal karena serangan jantung yang fatal. Hanya sempat dua malam di ICCU, lalu rekam jantungnya mendatar, tanda ruh nya telah lepas dari raganya.

Antara terkaget-kaget dan sedih, aku mau tak mau harus tak kalah tegar dari Ibu. Dan berusaha mengikhlaskan kepergiannya. Yang tersisa hanya ingatanku akan kejadian beberapa hari yang lalu, ketika Bapak menyampaikan satu kabar yang tadinya kuanggap remeh nyaris tak penting.
***

“Hape Bapak rusak, ga bisa kedengeran suara orang yang nelpon,” begitu jawabnya, sore itu, sekitar dua pekan yang lalu. Jawaban itu muncul setelah kutanya kenapa beberapa hari sebelumnya kutelpon tak dijawabnya. Oo, pantaslah!

“Punya Ayuk yang lama masih bisa dipake. Bapak pake aja, kan Bapak pake ‘cuma’ buat sms dan nelpon kan? Itu hape mahal juga lho Pak,” aku coba menawarkan solusi.

Dia tidak menjawab. Sedari tadi memang kami bercakap sambil dia menekuni koran. Ada kasus korupsi pejabat yang sedang hangat-hangatnya, dan Bapak adalah seorang pensiunan sekaligus pengamat berita politik. Maka koran menjadi teman utamanya setiap pagi. Bagi seorang pensiunan, hari kerja maupun akhir pekan memang tidak ada bedanya. Akan menjadi beda dan spesial ketika anak dan cucunya datang berkunjung, seperti hari itu. Sengaja akhir pekan itu kuajak anak-anak menjenguk Datuk dan Neneknya.

“Jaman smartphone begini, masa Bapakmu ditawari hape jadul? Kalau yang kayak begitu Bapak bisa beli sendiri Nak..”, ohh, Bapakku minta dibelikan smartphone! Ah, mungkin dia terprovokasi kami: anak-anak dan menantunya yang hampir semua menggunakan gadget lebar bermerk nama buah itu.

Ini bukan soal uang, sebagai putri sulung, aku sudah biasa menutupi kekurangan kebutuhan sehari-hari Bapak. Aku dan suami sama-sama berpenghasilan lebih dari cukup. Tapi, seorang pensiunan, yang aktivitasnya lebih banyak mebaca koran, berkebun, bermain dengan cucu, atau bercakap dengan tetangga sesama pensiunan sesama jamaah masjid: untuk apa sih smartphone? Toh Bapak tidak perlu membuat akun media sosial, atau sering-sering mengakses internet. Televisi di rumah sudah tersambung dengan berbagai channel berita dari seluruh pelosok negeri dan penjuru dunia . Koran langganan juga tiap pagi tak pernah terlambat datang. Hmm..Bapak pake smartphone buat apa? Tapi semua analisis itu hanya kusimpan di hati, mana tega aku mendebat pria tua yang telah menafkahiku hingga menjadi seorang wanita dewasa, berpenghasilan tetap, dan mapan begini?

“Kamu ga kekurangan uang kan? Belikan sajalah Bund,” akhirnya analisa itu tak sanggup kupendam sendiri, dan seperti biasa suamiku menjadi ‘wadah’ serbaguna untuk berbagai analisaku. Lalu, itulah tanggapannya.

“Ya, sekarang memang berbalik. Bisa jadi dulu waktu kamu belum dewasa, kamu juga sering punya permintaan tak masuk akal pada beliau. Lalu beliau turuti, tanpa perlu membuat analisa, selama masih wajar, tidak melanggar agama, tidak melanggar hukum dan norma. Sekarang dia yang minta dituruti, tanpa analisa..”, suamiku mencoba memberi jawaban lagi.

Baiklah. Mari berbelanja smartphone! Dan tak butuh waktu lama untuk seorang perempuan berbelanja. Dalam hitungan jam, sebuah smartphone seharga sekian juta telah ada di genggaman Bapak. Semua urusan simcard, aplikasi dan lain-lain sudah dibereskan Mas-Mas di toko itu.

Bukan main girangnya Bapak. Dengan bangga dipamerkan gadget baru itu pada teman-teman pengajiannya di masjid. Aku turut bangga, sebab Bapak tak lupa menyebutkan siapa orang yang membelikannya hape. Alhamdulillah, rejekiku lancar, sehingga tak sulit memenuhi permintaan Bapak.
***

Dan di depan pusara itu, aku masih terkenang smartphone yang kubelikan untuknya baru beberapa hari yang lalu. Beliau memang hanya sempat menggunakannya beberapa hari saja, sebelum menghembuskan nafas terakhir. Dan kini benda itu sudah tak bertuan.

Tapi, coba bayangkan: kalau saja aku tak mengabulkan permintaannya itu, bisa jadi sekarang aku bergumul dengan sesal: sesal akibat mengabaikan permintaan tak relevan dari seorang Bapak. Kalau saja permintaannya itu kutunda, bisa jadi hari ini dada ini sesak oleh rasa dosa.

“Barangsiapa berbuat baik kepada orang tuanya, maka anaknya akan berbuat baik padanya”. Ali bin Abi Thalib ra.

Bukan soal berapa rupiah, atau berapa banyak keringat dan darah yang telah mereka keluarkan untuk anak-anaknya. Tapi soal keberadaan mereka menjadi sebab dirimu ada. Ini memang bukan perkara mudah, karenanya banyak sekali ayat dan perintah Nabi soal ini. Ini bukan urusan simpel, tapi bukan suatu yang biasa untuk diabaikan.

Penulis: Sari Kusuma

Related Articles

Latest Articles