Mengapa Menunggu Tua?

“Mbah, nanti di sana jangan lupa minum obat lututnya ya. Jangan maksa kalo sakit lututnya kambuh”, nasehat Ida pada Si Mbah Putri sesaat sebelum masuk asrama haji.

Si Mbah tahun itu akhirnya mendapat panggilan haji, setelah beberapa tahun yang lalu menyetor tabungan hajinya. Bukan main girangnya si Mbah ketika kanwil depag menghubunginya beberapa bulan sebelumnya. Si
Mbah girang: Akhirnya aku bisa naik haji sebelum ajalku!

Si Mbah girang bukan kepalang, sementara anak dan cucu-cucunya khawatir luar biasa! Lho?

Bagaimana tidak khawatir: Si Mbah sudah berumur 75 tahun. Berjalan jauh sudah tak seberapa kuat lagi. Paling jauh dia hanya mampu menempuh 100 meter, itu pun harus pelan, menunduk, kadang dengan bantuan tongkat atau seorang cucunya menggandeng. Semua karena nyeri lutut dan pinggul yang selalu muncul setiap ia berjalan agak jauh. Kata dokter, si Mbah menderita osteoartritis, radang sendi akibat usia
lanjut. Obat hanya mampu menghilangkan gejala nyeri dan radangnya. Jika obat berhenti diminum, tak lama nyeri itu muncul lagi.

Lagipula, si Mbah berangkat ke Arab bakal sendiri. Sebenarnya, dulu ia mendaftar haji berdua dengan Mbah Kakung, namun apadaya suaminya itu meninggal setahun setelah mereka mendaftar haji. Ketika Mbah Kakung wafat, Mbah Putri tak lantas mengurungkan niatnya berhaji. Ia malah semakin serius memanjatkan doa di setiap waktunya: Gusti Allah, ijinkan aku menunaikan rukun Islam terakhir itu sebelum ajal
menjemputku..

Satu lagi, nenek berpostur kecil kurus itu juga pikun. Ia bisa berjam-jam mencari kalung yang ternyata dipakai di lehernya. Inilah yang membuat anak cucunya makin khawatir. Mereka khawatir sewaktu-waktu si Mbah lupa meletakkan paspor, dompet, atau bahkan kalungnya.

Namun si Mbah tak terlalu perduli dengan kekhawatiran para anak cucunya itu. Ini kan doanya sejak dulu? Kenapa urung karena urusan lutut, pikun atau suami sudah wafat? Bahkan jika aku harus meninggal lalu dikubur di sana juga aku rela, pikirnya.

Maka, nenek bersuku Jawa asli itu pun berangkat haji. Hampir semua anak dan cucunya mengantar hingga asrama haji. Semua berpesan agar jaga kesehatan dan jangan memaksakan diri di sana. Mereka berpesan
pula agar telepon genggam jadul yang diberikan salah satu cucunya sebelum berangkat agar dijaga baik-baik. Agar digunakan jika ada yang penting-penting saja.

Dan benar, selama di sana si Mbah hampir tak pernah menelpon. Lalu, hampir sebulan kemudian, setelah wukuf arofah rampung selesai dilaksanakan, ia pun tak kuasa menelpon ke kampung halamannya. Dengan
dibantu jamaah lain yang sekamar pondokan, si Mbah menelpon.

Tumpah semua harunya via telpon.

“Mbah, sehat di sana kan? Lututnya ga kambuh sakitnya?”, Ida adalah cucu kesayangannya, dialah yang diteleponnya pertama kali.

“Alhamdulillah Da, sehat. Alhamdulillah lutut Mbah ga sakit sama sekali sebulan ini..”, jawab si Mbah bahagia.

Syukurlah, pikir Ida. Ida tak menyangka seluarbiasa itu pengaruh motivasi berhaji bagi Mbahnya. Segala keluhan nyeri lutut dan pinggul tak sedikitpun muncul selama Mbahnya berhaji..

Lalu dirinya teringat saran temannya satu waktu,”Nanti kalau cicilan avanza kalian lunas, buka tabungan haji deh. Mumpung masih muda, haji kan ibadah fisik banget. Katanya, lebih disarankan naik haji pas masih muda, masih sehat, fit.”

“Nggak ah, aku kan masih kecil. Umur aja belum nyampe 30 tahun,” jawab Ida waktu itu.

“Lha masak nunggu tua kayak si Mbahmu itu? Bikin anak cucunya khawatir? Mbah mu sih kasus khusus ajaib itu, jarang, tiba-tiba keluhan lututnya hilang pas haji. Banyak lho yang berhaji dengan berbagai keluhan karena usia lanjutnya,” tegas temannya.

Ida masih terus memikirkan nasehat temannya itu. Belum membuat keputusan apa-apa. Masih lima tahun lagi cicilan Avanza putih itu akan lunas. Ia hanya terus berdoa agar warung pecel ayam dan lele yang ia
jalankan bersama suaminya bisa terus lancar, sehingga cicilan bisa segera lunas. Ya, kita doakan saja..

Penulis: Sari Kusuma

Related Articles

Latest Articles