Di rak tepat di samping pintu itu, ia letakkan sepasang sandalnya. Terbungkus rapi dalam plastik yang khusus ia bawa dari hotel, sandal itu ia letakkan di rak nomor 203. Dipandanginya baik-baik lokasi sandal itu, angkanya, posisinya, juga jaraknya dari pintu. Semua ia lakukan dengan seksama, teliti dan hati-hati. Jangan sampai lupa, batinnya.
Tak lupa, dia foto juga lokasi sekaligus angka nomor rak tempat sandalnya ia letakkan. Sip! Ga bakalan lupa. Aku punya ingatan jangka pendek yang bagus, pikirnya.
Ia teringat pesan banyak orang soal hal remeh temeh berjudul soal meletakkan sandal di Masjid Nabawi ini. “Diingat baik-baik ya: masuk lewat pintu mana, sebelah mana, juga nomor raknya. Kalau perlu difoto. Soalnya kalau lupa, bisa habis berjam-jam waktu ‘cuma’ sekedar mencari sandal yang hilang. Kita niatnya ibadah, jangan sampai ga khusyuk karena lupa narok sendal di mana”, terngiang pesan rekan kantornya.
“Kalau perlu pakai plastik khusus, biar gampang nyarinya”.
“Difoto aja sekalian biar ingat nomor raknya”.
Banyak sekali saran yang dia dengar. Semua soal sandal. Panjang urusan karena soal sandal. Rasanya terlalu dibesar-besarkan urusan sandal ini.
Sengaja ia tiba di masjid jauh sebelum adzan. Magrib sekalian Isya’, malam ini tak perlu mabit dulu. Maka ia pun berencana keluar masjid, sudah lewat waktu makan.
Segera ia menuju kotak nomor 203 itu. Dengan pasti, dia ambil sebuah plastik. Eh, tapi itu bukan plastik miliknya, isinya pun bukan sandalnya. Terus, kemana sandalnya? Sekali lagi dia lihat baik-baik rak itu. Betul, nomornya tak salah.
Dibukanya foto yang tadi dia ambil, foto rak dengan nomor rak, bukti persis lokasi tempat ia meletakkan sandalnya tadi. Dan persis: inilah lokasinya. Tidak salah lagi. Namun kemana sandalnya pergi?
Astagfirullah, kalau sudah begini, ia teringat lagi pesan yang disampaikan pihak biro travel saat manasik. “Perbanyak istighfar, selalu berprasangka baik..”.
Ia pun kembali masuk ke ruang masjid, duduk menenangkan diri, lalu berdzikir, dan memperbanyak istighfar. Mungkin tadi dia terlalu sombong berpikir bahwa urusan sandal ini tidak terlalu penting, tidak usah diperbesar, tidak usah banyak dibahas. Tapi ia tetap tidak bisa membayangkan jika ia harus kembali ke kamar hotel tanpa alas kaki. Meski jarak hotelnya tidak terlalu jauh, tapi rasanya pasti menyedihkan jika ia harus masuk lobi hotel bintang 5 tanpa alas kaki.
Hampir setengah jam ia berdzikir, ia pun beranjak. Dengan sepenuh keyakinan, tak mungkin sandal itu pindah. Ini tempat suci, tidak mungkin ada jamaah atau petugas yang berniat buruk. Di hadapannya rak nomor 203, dan di dalamnya ia lihat sebuah kantong plastik yang sangat familiar baginya. Saat mendekat, tampak siluet sandal di dalam plastik itu amat familiar pula baginya. Ia meringis, sejak tadi sandal itu memang di sana. Tak berubah posisi. Hanya sepertinya tadi ada kantong plastik lain yang menutupinya. Ia heran, sebab seingatnya tadi ia sudah berusaha membolak-balik tumpukan sandal di dalam kotak nomor 203 itu, namun tadi tak tampak sama sekali sandalnya. Subhanallah! Hatinya bergetar, bagaimana mungkin dirinya yang begitu teliti dan memperhatikan detail bisa lalai ‘cuma’ mengurus sandal?
Percaya diri adalah modal setiap orang untuk bisa berkompetisi dalam hidupnya. Namun, sangat tipis batas antara percaya diri dengan tinggi hati. Over confidence kadang menjerumuskan manusia untuk selalu merasa benar, dan sedikit demi sedikit menumpuk menjadi sombong. Dan hanya Allah lah yang berhak menggunakan selendang sombong itu. Dalam setiap sudut hidup manusia, kerja keras menjadi faktor penentu keberhasilannya. Namun di atas semua itu, manusia harus mengakui: dengan kehendak Sang Pencipta saja maka keberhasilan itu terjadi. Hanya Dia tempat bergantung segala sesuatu, dan manusia hanyalah bagian dari skenario takdirNya.
Penulis: Sari Kusuma