Di Masjidil Haram Aku Bertaubat

Penulis: Fifit Fatmalia*

SuaraJakarta.co, KISAH INSPIRATIF – Saya dibesarkan dalam keluarga berada, namun biasa saja soal agama. Saya sholat atau tidak, orang tua saya tidak begitu perduli. Tidak seperti teman SD saya dulu, yang tidak bosan diingatkan soal sholat. Setiap saya bermain di rumahnya, orang tuanya tak pernah lupa mengecek anaknya sudah sholat atau belum. Jika orang tuanya sedang tak di rumah, mereka menelpon sekedar mengingatkan untuk sholat.

Menginjak dewasa, ini tidak berubah. Seperti remaja dewasa lainnya, terkadang saya nongkrong di kafe. Walaupun sangat jarang, di sana memesan segala jenis minuman, bahkan yang beralkohol sekalipun. Sekedar menghilangkan rasa penasaran. Pun di sana Abang saya ikut menemani, jika tidak, orang tua saya tidak akan kasih ijin saya keluyuran. Begitu terlihat ada alkohol, Abang saya langsung melapor, Papa langsung memberi peringatan: “Ini sudah cukup, perempuan gak boleh terlalu banyak minum gak baik buat kesehatan!”..

Jika masuk resto, saya tak begitu peduli makanan yang saya pesan mengandung bahan haram atau tidak. Saya suka heran dengan teman kuliah saya waktu itu, yang sangat anti masuk ke resto cina atau jepang. Takut mengandung bahan haram, katanya, entah hanya berupa angciu, mirin atau yang lain. Halah, yang penting bukan babi, jawab saya.

Tahun 2005, Papa mengajak kami sekeluarga naik haji. Kami memilih penyelenggara haji dengan layanan khusus, sehingga aktivitas haji kami tak begitu berat. Kami juga mendapat bimbingan penuh, baik sebelum maupun selama haji.

Begitu melihat Ka’bah, mulut saya tertutup rapat, tak sanggup berkata apapun. Mata saya tanpa terasa basah. Rasa itu semakin kuat ketika saya sholat pertama kali di masjidil haram. Entah kenapa, terasa sekali jika saya ini lemah, tak ada daya, dan ada Allah yang begitu besar kasih sayangnya memperhatikan saya.

Saat melempar jumroh, tenda kami berada beberapa ratus meter dari lokasi. Tenda yang sangat nyaman: penyejuk ruangan membuat kami tak merasa jika di luar sana suhu teramat panas. Berbeda dengan jamaah haji reguler, yang bisa berkilometer lokasi tendanya. Untuk ke lokasi, selain mereka harus berjalan jauh, mereka juga harus berdesakan dalam suhu yang luar biasa terik. Saat itulah saya merasa besar sekali nikmat yang Allah berikan kepada saya. Tak terbayang jika saya harus berhaji dengan fasilitas reguler.

Tempat menginap kami pun tak jauh dari Masjidil Haram. Jamaah haji reguler lain untuk bisa berjamaah subuh di Masjidil Haram mereka harus berangkat bahkan 2 jam sebelum adzan. Sedangkan saya sekeluarga bisa berangkat 30 menit sebelumnya, sehingga bisa beristirahat lebih lama di malam hari. Tak terbayang harus menjalankan ibadah fisik, sementara durasi istirahat tidur pun harus dikurangi.

“Saya nabung udah 30 tahun Neng,,” cerita seorang jamaah lansia ketika secara tak sengaja kami mengobrol di teras Masjidil Haram. Wow,,kalau saya? Selama ini uang bulanan dari orang tua sebegitu berlimpah hanya saya gunakan untuk nongkrong (jarang sekali sebenarnya, sejak ditegur Papa itu), ngemall, nyalon, tak terpikir sedikitpun menabung untuk haji. Sehingga haji ini pun dibayarin Papa. Setelah kami mengobrol dia berlalu, berjalan agak pelan, sebab nyeri lututnya sering muncul jika berjalan jauh. Lansia itu benar-benar kesulitan berjalan, sendiri, hanya dituntun sesama jamaah yang sama rentanya, namun tak mengurungkan niatnya untuk berhaji!

Saya terpaku melihatnya. Tak terasa berlinang air mata saya. Saya ini, hidup tak pernah kekurangan, tak pernah ada kesulitan, tapi sholat saja jarang? Punya Papa yang tidak pernah lupa menjaga saya. Punya Abang yang seolah menjadi bodyguard saya. Lalu bagaimana dengan minuman beralkohol yang pernah saya tengguk jika nongkrong di kafe? Detik itu, niat saya semula hendak pulang ke kamar hotel pun urung.

Seolah di dalam masjid sana memanggil saya untuk bersujud. Iya, saya sujud lama, sambil sesunggukan menangis. Makhluk macam apa saya ini? Segudang nikmat di depan mata telah saya tengguk, namun untuk sekedar sholat lima waktu pun saya tak bisa. Sejuta kasih sayang Allah telah saya nikmati, namun untuk membersihkan diri total dari makanan yang mengandung benda haram saja saya tak teliti.

Lalu bagaimana kalau tiba-tiba saya mati? Apa yang harus saya jawab pada malaikat penjaga kubur nanti? Lalu, siapkah saya menerima siksa kubur? Air mata saya semakin deras membayangkan nya.

Astaghfirullahal’azhim… Ya Allah, ampuni aku. Terimalah taubatku. Aku ingin menjadi hambaMu yang pantas masuk surgaMu. Aku tak sanggup jika menerima siksa nerakaMu. Beri aku kesempatan untuk menjadi makhluk yang lebih baik di hadapanMu…
***

Maka sepulang haji, saya bertekad tak akan meninggalkan sholat. Betul, saya bahkan sempat mengerjakan dhuha serta beberapa sholat rowatib. Puasa Ramadhan tak lagi bolong. Saya benar-benar khawatir jika hidup saya segera berakhir. Biarlah Allah saja yang memperhitungkan kelalaian saya dulu akan ibadah-ibadah wajib saya. Saya ingin menjadi muslimah yang baik. Saya hanya berpegang pada kata seorang ustadz: Allah mencintai orang yang senantiasa bertaubat dan mensucikan diri.

Doakan saya tetap istiqomah ya!

*] Peserta Jama’ah Haji Khusus Al Amin Universal Travel [Al Amin Tours], Tahun 2005

Related Articles

Latest Articles