Manajemen Hutang

SuaraJakarta.co – KALAU diadakan survey siapa yang belum pernah berhutang, mungkin hanya akan sedikit orang saja yang menjawab belum pernah berhutang sama sekali. Ada yang berhutang karena terpaksa, ada yang berhutang dengan sukarela. Yang jelas, banyak yang tersenyum ketika mendapatkan hutang. Dan banyak yang cemberut ketika harus membayarnya.
Agar hutang tak membuat keuangan berantakan, perhatikan 3 hal ini dalam melakukan manajemen hutang:

1. Jangan berhutang sebelum jelas penggunaannya

“Ada yang menawari hutang nih, enaknya dipakai buat investasi apa ya?”
Awalnya saya bingung dengan pertanyaan seperti ini, kalau tidak perlu berhutang dan tidak tahu hutangnya mau dipakai buat apa, lalu kenapa berhutang? Namun ternyata, yang bertanya mengenai hal ini tidak cuma satu dua orang saja.

Pertama, jangan ge er dulu kalau mendapat tawaran hutang, dari manapun datangnya. Bagi perusahaan keuangan, seperti bank, leasing, multifinance, koperasi, dll, hutang adalah barang dagangan mereka. Maka kalau Anda ditawari hutang, artinya sedang ditawari untuk membeli barang dagangan mereka. Jadi tak perlu ge er dan tak perlu sungkan untuk menolak, akan masih banyak lagi kesempatan lain untuk berhutang.

Kedua, yang namanya beli barang dagangan, pasti ada harga yang harus dibayar. Biasanya, biaya hutang tentu lebih mahal daripada hasil investasi. Saat tawaran itu datang, tak perlu berfikir investasi apa ya agar hutangnya bisa dikembalikan sekaligus mendapatkan keuntungan. Ingat, hutang itu harus dibayar bulanan dan investasi yang juga memberikan hasil bulanan biasanya sangat kecil.

Kalaupun ada investasi yang hasilnya lebih tinggi dari biaya hutang adalah investasi yang naik harganya seperti kenaikan harga saham, emas, reksadana, properti, dll. Itu tidak memberikan hasil bulanan, sehingga untuk cicilan bulanannya harus dirogoh dari kocek sendiri.

2. Pilih hutang manis dan perhatikan dosisnya.

Hutang itu seperti obat. Ada obat yang dimakan dalam kondisi darurat, kita sebut saja ini obat yang pahit, yang terpaksa dikonsumsi saat sakit. Tapi ada juga obat yang manis, seperti vitamin dan suplemen yang dikonsumsi untuk menjaga kesehatan.

Begitu juga dengan hutang. Ada hutang pahit, yaitu hutang “terpaksa” diambil agar bisa menyembuhkan kondisi keuangan yang sedang sakit. Dan ada juga hutang manis yaitu hutang yang diambil bukan karena terpaksa, tapi diambil untuk menambah kekuatan keuangan. Hutang manis ini misalnya saja berhutang untuk barang produktif atau modal usaha.

Walaupun ada yang namanya hutang manis, dosisnya tetap saja harus kita perhatikan agar tidak berlebihan membebani kondisi keuangan. Seperti juga vitamin dan suplemen, jika dikonsumsi berlebihan tentu berbahaya juga untuk kesehatan. Dalam kondisi normal, anjuran cicilan hutang tidak boleh lebih dari 1/3 penghasilan. Jika cicilan hutang sudah lebih dari 1/3 penghasilan, maka biasanya biaya hidup akan terganggu dan jelas tidak ada setoran tabungan untuk masa depan.

Bagaimana kalau sudah terlanjur? Lakukan penjadwalan hutang agar jangka waktunya lebih panjang dan cicilannya lebih rendah. Atau lakukan “amputasi asset” alias menjual sebagian asset untuk membayar hutang tersebut.

3. Please, jangan ada bunga di antara kita.
Terakhir, tapi yang paling penting, jangan jadikan hutang dengan riba sebagai bumbu penyedap keuangan kita. Karena dosanya sama saja untuk yang menerima, yang membayar, yang mencatat, dan yang menjadi saksinya. Karena keuangan itu bukan cuma nilai rupiah, tapi juga nilai berkah.

Penulis: Ahmad Gozali, Independent Financial Planner, Wealth Optimizer, Chairman of Zelts Consulting

Related Articles

Latest Articles