Kedermawanan Hadirkan Keberdayaan

SuaraJakarta.co – Ada dua hal yang menjadi masalah utama Pilantrophy di Indonesia ini. Pertama adalah soal kesadaran masayarakat untuk berderma yang masih belum optimal. Kita masih punya PR besar dalam hal ini. Bagaimana mengoptimalkan potensi Zakat yang berjumlah 217 Trilliun ini menjadi sebuah kenyataan. Bagaimana menjadikan berderma sebagai sebuah gaya hidup, Life Style. Artinya bahwa standar kesuksesan hidup seseorang itu bukanlah ditentukan oleh banyaknya Mobil atau Tas mewah yang dimiliki, tapi dari sebanyak apa kemampuannya dalam berderma, membelanjakan uangnya untuk sesuatu yang bermanfaat, yang bisa memberikan kontribusi untuk masayarakat.

Yang kedua adalah soal penyaluran donasi yang masih tumpang tindih. Sehingga program pemberdayaan masih tiba pada titik yang itu-itu saja. Kita ini Negara besar, ratusan suku bangsa hidup ditengah-tengah kita. Ratusan bahasa menyapa kita hampir setiap hari. Kita hidup di negera kepualauan dengan 17.000 pulau yang terbentang dari sabang sampai merauke. Apakah layanan kita sampai ke daerah-daerah terpencil yang sangat memerlukan layanan kita? Ataukah hanya mengejar liputan media saja, sehingga kita hanya membantu daerah-daerah yang bisa diliput media? Saya berhusnudzan, bahwa memang sulitnya menjangkau daerah-daerah terpencil itu menjadi masalah tersendiri bagi lembaga Philantrophy. Bukan masalah bisa diliput media atau tidak. Karena kalau ada peluang untuk menuju ke daerah terpencil itu, maka menyambung kebahagiaan antara donatur dan penerima manfaat juga bisa kita lakukan. RZ belum lama ini juga memberikan bantuan kepada para penduduk pulau terluar Indonesia melalui Program Baskesra. Dengan menaiki kapal laut milik TNI AL, mereka menembus badai lautan untuk memberikan bantuan dari para donatur.

Untuk masalah yang pertama, mungkin ini bisa menjadi solusi. Lembaga Philantrophy harus bisa menjadi mitra strategis perusahaan yang ingin menyalurkan dana CSR-nya. Ini jumlahnya besar sekali. Menurut the World Business Council For Sustainable Development (WBCSD) in fox, et al (2001), defenisi CSR adalah : komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut komuniti – komuniti setempat (Iokal) dan masyarakat luas secara keseluruhan dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan. CSR Juga merupakan kepedulian perusahaan yang didasari tiga prinsip yang dikenal dengan triple bottom Ones, yaitu Profit, People dan Planet. Masing-masing maksudnya adalah Profit, perusahaan harus tetap berorientasi untuk terus beroperasi dan berkembang. People,perusahaan harus memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan manusia dan planet,perusahaan peduli terhadap lingkungan hidup dan kelanjutan keragaman hayati.

Kesadaran akan pentingnya CSR bagi eksistensl dan kemajuan perusahaan sebenamya sudah disadari sejak lama oleh banyak perusahaan. Bahkan jauh sebelumnya pada awat abad 19 dapat kita lihat dalam sejarah, bagaimana perusahaan – perusahaan di bawah kolonial memberikan sebuah bentuk balas jasa dengan budi baik kepada warga masyarakat. Di Indonesia, pemerintah kolonial meluncurkan gerakan balas budi bagi masyarakat terutama kaum ningrat. Setelah sekian lama mengambil manfaat serta keuntungan demi keuntungan dari kekayaan alam melalui CUlture Stetlsell (tanam paksa), akhimya dimunculkan kegiatan balas budi berupa pemberian kesempatan untuk dapat mengecam pendidikan sistem kolonial pada beberapa negara Eropa. Contoh di atas merupakan sebuah program CSR yang dilakukan oleh perusahaan kolonial.

Dalam mencapai misi profitabilitas dan kesinambungan pertumbuhan perlu tejadi keselarasan untuk tumbuh bersama. Untuk itu perlu kolaborasi antara seluruh stakeholder guna mendapatkan hasil yang optimal dalam konteks pengembangan ekonomi lokal. Pada corporate terdapat potensi untuk melakukan inisiasi penguatan ekonomi lokal melalui program CSR yang sekaligus menjadi basis penguatan ekonomi nasional. Program CSR yang berpotensi sebagai instrumen pemberdayaan ekonomi lokal tentulah program yang menjalankan konsep dan teknik Implementasi yang berorientasi pada penguatan daya saing ekonomi masyarakat. Program tersebut mendorong insiatif penguatan eonomi lokal dengan memperbaki kondisi lingkungan persaingan usaha, fokus dan sinergis pada perbaikan lingkungan usaha yang mengoptimalkan kelompok industri usaha kecil dalam satu jaringan mata rantai nilai tambah yang terhubung baik melalui hubungan bisnis maupun non bisnis.

Keberadaan orang-orang miskin bukan sekedar dampak dari ketidakpedulian dari kalangan elite semata, yang tidak memperhatikan mereka. Tapi, kemiskinan juga merupakan dampak dari struktur sosial yang tidak adil. Harta sebagai instrumen kesejahteraan hanya bergulir dikalangan elite semata. Usaha karitatif dalam sejumlah bentuk kedermawanan, dipastikan tidak akan mampu mengentaskan kemiskinan tersebut dan membebaskan orang-orang miskin dari penderitaan. Karena, kemiskinan telah membentuk strukturnya yang mengakar dalam tatanan masyarakat. Untuk itu, kedermawanan tersebut harus diberdayakan. Mentrasnformasikan sikap peduli itu dari sekedar kesadaran individual menjadi kesadaran kolektif, dan tentunya dikelola dengan baik.
Dalam hal ini, Islam menghendaki adanya lapisan buffer yang menghubungkan golongan miskin dan kalangan elite dalam masyarakat. Dan, dalam hal ini, amil zakat sebagai lembaga merupakan aktor yang terkonsepkan dalam menempati posisi strategis tersebut. Amil zakat merupakan realisasi dari kesadaran kedermawanan kolektif, yang terinstitusikan dalam bentuk lembaga. Keberadaannya memang ditujukan sebagai elemen aktif dalam meredistribusikan kesejahteraan dari kelompok elite masyarakat, kepada golongan dhuafa’. Karenanya, amil zakat bertanggung jawab memastikan harta yang didermakan oleh kalangan elite terkelola dengan baik, memberdayakan kedermawanan.

Ketika kedermawanan tersebut disalurkan melalui amil zakat, kebermanfaatan dari aktifisme sosial dirasakan lebih termaksimalkan dalam mengentaskan kemiskinan. Pertama, harta yang disumbangkan dapat lebih dikelola secara efektif. Dalam hal ini, amil zakat sebagai lembaga memiliki kapasitas untuk langsung menyentuh lokasi kemiskinan dengan program pemberdayaan yang lebih terpadu. Dengan demikian, masyarakat miskin tidak lagi perlu berdesakan penuh resiko untuk sekedar memperoleh santunan yang terbukti tidak bisa melepaskan mereka dari kemiskinan.
Kedua, keadilan distribusi dapat lebih terwujud. Santunan langsung yang diberikan dipastikan memiliki resiko ketidakadilan bagi masyarakat miskin. Bisa jadi, tanpa data yang mendukung, santunan langsung tersebut sangat sulit untuk mendistribusikan bantuan secara merata dan rentan manipulasi identitas miskin. Tidak selamanya, bantuan langsung yang diberikan tepat sasaran kepada masyarakat miskin yang membutuhkan. Karenanya, ketika bantuan itu diberikan kepada amil zakat, potensi keberadilan distribusi dapat lebih tercapai. Karena, penyaluran bantuan tidak hanya terfokus pada satu area saja, melainkan juga dengan memberikan prioritas kebutuhan dari masyarakat miskin dan juga lingkup persebaran bantuan.
Kedermawanan adalah unsur dasar manusia yang saling tolong menolong. Kemampuannya meretas kemiskinan menjadi keberdayaan sudah terbukti. Karena tidak ada orang yang miskin karena dermawan, dan tidak ada orang kaya karena meninggalkan kedermawanan.

Penulis: Nur Efendi, CEO Rumah Zakat

Related Articles

Latest Articles