“Tiada makanan yang lebih baik daripada hasil usaha tangannya sendiri.” (HR. Bukhari)
Dalam kondisi krisis ekonomi seperti sekarang ini, beban kehidupan makin mencekik. Angka pengangguran meningkat, lapangan kerja semakin sulit, para pengusaha banyak yang gulung tikar, sementara harga kebutuhan pokok menjadi semakin tinggi. Banyak kebijakan pemerintah yang diambil justru memberatkan masyarakat kecil. Ditambah lagi mental sebagian (mungkin mayoritas) bangsa kita yang ingin mendapatkan pekerjaan yang mudah, namun gajinya besar. Mereka tidak mau bekerja keras, banting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kondisi demikian akan menambah beban masyarakat karena dampaknya sangat terasa dalam kehidupan sosial.
Islam telah memberi motivasi kepada umat manusia untuk mengatasi krisis ekonomi, yaitu dengan meningkatkan kinerja individu. Dari individu yang produktif inilah roda kehidupan menjadi berputar dinamis. Jika kehidupan sudah dinamis, maka kehidupan sosial akan beranjak sehat. Ilustrasi sederhana adalah bagaikan perilaku air. Air yg sehat adalah yang mengalir karena didalamnya ada perputaran oksigen. Jika air itu berhenti bergerak, maka genangan air itu akan menimbulkan banyak penyakit.
Allah memuliakan derajat seorang muslim yang mandiri dalam mencari nafkah. Islam begitu menghargai dan menyanjung pemeluknya yang memiliki pekerjaan dan keahlian (profesi). Sebaliknya, Islam mencela pengangguran yang hanya tergantung pada orang lain. Islam mengusung tinggi kemuliaan seseorang yang tumbuh dari kemandirian dan mencela seseorang yang diliputi kehinaan dikarenakan ketergantungannya kepada orang lain.
Sebuah do’a yang diajarkan oleh Rasulullah saw, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari rasa gelisah dan sedih, dari kelemahan dan kemalasan, dari sifat pengecut dan bakhil, dari tekanan hutang dan kesewenangan orang.” Do’a ini mengajarkan paling tidak empat hal. Pertama, kita harus menjauhkan diri dari rasa gelisah dan sedih. Dua rasa ini akan mematikan motivasi positif kita. Sedih dan gelisah berkelanjutan hanya akan membawa hidup menjadi berkabung duka. Ini memberi makna bahwa kita tidak percaya dengan ketentuan Allah yang menimpa diri kita. Kenyataannya, Allah telah memberi ujian kepada kita yang menyebabkan kita menjadi sedih dan gelisah. Namun setelah itu, kita harus melawan rasa sedih dan gelisah itu dengan mensyukuri pemberian Allah yang lainnya. Bukankah masih banyak ni’mat lain yang Allah berikan kepada kita.
Kedua, kita harus menjauhkan diri dari jiwa lemah dan malas. Ini penyakit yang sangat dahsyat bagi manusia. Disinilah penentu keberhasilan atau kegagalan. Kesuksesan manusia berbanding lurus dengan semangat juangnya. Seringkali kita menjumpai orang yang ingin hidup senang namun ia hanya ongkang-ongkang kaki dirumahnya. Sementara itu, diluar sana orang harus berjalan berpuluh kilo meter hanya untuk memasarkan lima lembar bilik yang dianyam sendiri dirumahnya.
Ketiga, kita harus menjauhkan diri dari sifat pengecut dan bakhil. Sifat pengecut hanya akan menciutkan semangat juang. Hidup adalah perjuangan yang memerlukan pengorbanan. Dalam perjuangan diperlukan keberanian karena ia selalu berhadapan dengan berbagai tantangan. Allah menceritakan berbagai tantangan itu dalam Al-Qur’an, “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat,” (QS Al Baqarah 214). Cobaan hidup harus dihadapi dengan keberanian.
Sementara itu, kesulitan hidup yang dihadapi seseorang akan mengakibatkan ia hanya berpikir untuk dirinya semata. Ia tidak peduli lagi dengan orang lain, yang penting dirinya selamat. Ini adalah akar dari penyakit bakhil. Dalam kondisi apapun, kita dianjurkan untuk berinfak. Berinfak bukan pekerjaan orang kaya saja, tapi orang tak berpunya pun dianjurkan untuk berinfak. Lihat surat Ali Imran 134.
Keempat, kita harus menjauhi terlibatnya kita dalam hutang dan dari kekuasaan orang. Hutang akan membuat kita menjadi lemah dan tak berdaya. Umumnya, seseorang itu akan sangat menjanjikan pengembalian hutang dengan berbagai alasan dan jaminan. Tapi, mayoritas para penghutang itu tidak tepat waktu dalam pengembalian. Bahkan tidak sedikit dari mereka itu enggan untuk membayar hutang padahal mereka mampu untuk membayarnya karena mereka mempunyai kebutuhan lain. Akhirnya, banyak kasus yang terjadi, bahwa orang yang berhutang ini lari menghindar dri kewajibannya membayar. Inilah sisi lemah dari kondisi hutang. Jika ini yang terjadi, maka rusaklah nama baik yang selama ini ia bangun. Oleh karena itu, maka Islam mengajarkan, kalau tidak terpaksa, jangan berhutang! Ini erat kaitannya dengan kemerdekaan seseorang dari kekuasaan orang lain. Inilah kemandirian!
Kerja
Dalam al-Quran, bekerja diistilahkan dengan kata kasab yang berarti hasil-hasil usaha yang diperoleh manusia, baik hasil yang berupa aspek-aspek duniawi (materi) maupun ukhrawi (At-Thur: 21; Ibrahim: 51). Pengertian ini relevan dengan perintah Allah agar kita berlaku seimbang (tawazun) dalam menjalani kehidupan (Al-Qashash: 28). Ini diperkuat lagi oleh atsar sahabat tentang perintah untuk bekerja seolah-olah kita akan hidup selamanya di dunia dan beribadah seolah-olah kita akan mati esok hari.
Tapi menurut Muhyiddin Athiyah dalam Al Kasyaaf Al Iqtishady Lil Ahaadits An Nabawiyah Asy Syariifah, kasab terkait dengan urusan duniawi. Ia mengutip hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Al-Bazzaar dan Ath-Thabrani yang berbunyi: “Ditanyakan kepada Rasulullah Saw: Wahai Rasulullah usaha apakah yang terbaik? Jawab Rasulullah Saw: Pekerjaan seseorang dengan tangannya”. Dalam hadits ini kasab diartikan suatu usaha atau pekerjaan yang menghasilkan sesuatu yang bersifat material karena dikerjakan dengan tangan.
Terlepas dari hal itu, kita menyaksikan para sahabat sebagai generasi terbaik ummat manusia telah menjadikan urusan mencari nafkah sebagai bagian yang terpenting dalam hidupnya. Mereka terkenal sangat tekun dalam mencari nafkah, disamping shalih, wara’ dan pemberani.
Lihat saja sahabat Sa’ad bin Abi Waqash bekerja sebagai tukang pintal tali, Amr bin Ash tukang potong hewan, dan Muadz bertani. Begitu juga Usman bin `Affan , Zubeir bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah terkenal sebagai pedagang yang sukses. Abu Bakar sendiri berprofesi sebagai pedagang, padahal ketika itu ia tengah menjalani tugas negara sebagai khalifah.
Rasulullah sendiri sudah menjadi pedagang sukses sejak kecil. Begitu juga para nabi Allah yang lain adalah para pekerja keras yang menghidupi diri dan keluarga mereka. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Adalah Nabi Zakaria as dahulu sebagai tukang kayu.” (HR.Muslim).
Kehidupan mereka begitu dekat dengan sikap mandiri serta memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap keluarga dan amanah yang diembannya. Mereka tidak melalaikan amanah yang diembannya hanya karena mereka sibuk berdakwah.