Perlukah Pengawasan terhadap Mahkamah Konstitusi ?

SuaraJakarta.co, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi merupakan sebuah lembaga peradilan yang dibentuk sekitar tahun 2003 pasca reformasi ketatanegaraan dengan diadakannya amandemen sebanyak 4 kali dimulai dari tahun 1999-2002. MK merupakan satu-satunya lembaga peradilan tertinggi di negeri ini. Tugas dari MK ini adalah hal-hal yang berkaitan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945). Dan juga, MK dikenal dengan sebutan Guardian of the Constitution (Pengawal UUD). Didalam Lembaga Negara ini terdapat 9 hakim yang berperan dalam mewakili wujud tuhan di dunia sebagai penegak hukum tertinggi.

Namun sungguh disayangkan dan sangat memalukan jika ditingkat peradilan tertinggi di negeri ini masih terdapat kecacatan hakim konstitusi yang merusak citra lembaga peradilan tertinggi, yang lebih parahnya lagi kecacatan ini dilakukan oleh ketua dari hakim konstitusi itu sendiri yang hanya mementingkan nafsu dunia berupa suap belum lagi dengan penggunaan obat terlarang yang menambah kebobrokan citranya sebagai wakil tuhan.

Seperti kasus tentang ketua MK ini yang bermasalah yaitu Akil Mochtar, ia ditangkap oleh KPK, pada saat transaksi suap yang dilakukan oleh Tubagus Ari Wardana (Suami dari Walikota Tanggerang Selatan) sekaligus adik dari Gubernur Banten yaitu Ratu Atut Chosiyah bersama Chaerunnisa seorang pengacara. Akil Mochtar ditangkap di rumah dinasnya pada saat melakukan transaksi suap untuk kasus PILKADA Lebak Banten. Selain itu, di dalam ruang kerjanya terdapat obat-obatan terlarang.

Setelah adanya kasus ini Mahkamah Konstitusi perlu pengawasan internal maupun eksternal, agar menjadi lembaga peradilan yang berwibawa sekaligus bermartabat, perlunya pengawasan terhadap MK, karena selama ini tidak ada yang mengawasi perilaku hakim konstitusi. MK tidak mempunyai mekanisme pengawasan internal secara mapan. Jika pun ada, dinilainya, wewenang itu ada pada Majelis Kehormatan Hakim, tetapi sifatnya lebih kepada pengawasan represif, karena majelis ini baru dibentuk jika ada dugaan pelanggaran etika oleh hakim. MK juga tidak mau diawasi oleh lembaga pengawas eksternal. Ketika pengujian UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, MK membatalkan fungsi pengawasan KY, termasuk pengawasan terhadap MK. Sejak putusan itu MK menjadi lembaga yang sangat kuat (powerfull), dan seiring dengan berpindahnya penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah dari Mahkamah Agung ke MK, maka lembaga peradilan konstitusi itu menjadi semakin powerfull. Bayangkan, masalah sengketa ratusan pilkada di seluruh Indonesia akan ditentukan nasibnya hanya oleh sembilan hakim konstitusi, belum lagi wewenang MK lainnya yang membuat kekuasaan MK begitu besar dalam menentukan nasib bangsa ini.

Ketika MK sangat kuat dan tidak ada lembaga yang memeriksa dan menyeimbangkan (check and balance), maka tidak ada lembaga yang mengawasi perilaku para hakimnya, sehingga berpotensi penyalahgunaan wewenang. Ini sudah memunculkan kecemasan masyarakat terhadap hukum di Negara ini. Tertangkapnya Ketua MK Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam dugaan suap, maka menjadi satu bukti bahwa pimpinan lembaga yang tidak mau diawasi itu menyalahgunaan kekuasaan.

Dengan demikian saya beranggapan bahwa adanya pengawasan terhadap MK itu diperlukan, guna menjaga citra peradilan tertinggi negara, dan demi tercapainya kepastian hukum, sehingga MK dapat menjadi panutan bagi bangsa ini terlebih sebagai wakil tuhan serta adanya kesadaran masyarakat agar lebih taat kepada hukum.

Penulis: Andi Ahmad Rifai, Mahasiswa Hukum Universitas Padjadjaran

Related Articles

Latest Articles