Perayaan Hari Guru, Formalitaskah?

“pelita dalam kegelapan, patriot pahlawan bangsa” mereka menyebutnya. 25 November diperingati sebagai hari guru di Indonesia. Acara pemotongan tumpeng dengan pembukaan lagu hymne guru lazim diadakan. Guru, penunjang penting dalam dunia pendidikan. Ia merupakan ‘motor’ dari proses pembelajaran. Namun, yakinkah kita bahwa keberadaannya di hargai oleh murid-murid dan kerja kerasnya diapresiasi lebih besar oleh pemerintah Indonesia?

Kembali pada perjalanan saya 2 minggu lalu ke sebuah museum yang bertempat di bilangan Jakarta Pusat, tepatnya Museum Art Mon Décor. Ada sebuah lukisan guru yang sedang mengajarkan lagu hymne guru, kemudian dari kiri bawah ada seorang murid yang menghapus lirik tersebut. Semua orang mempunyai makna berbeda dalam mengambil kesimpulan dari gambar ini, dan saya menangkap bahwa ini adalah gambaran bagaimana kondisi generasi muda dalam menjalani sistem pendidikan saat ini dan mereka yang kurang menghargai posisi guru.

Guru, sosok paling penting dalam dunia pendidikan. Entah mengapa saya merasa di Indonesia keberadaannya kurang dihargai. Mengacu pada negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, gaji seorang guru berada pada peringkat-peringkat atas. Bahkan, di Inggris, gaji guru lebih tinggi dibandingkan Perdana Mentri sekalipun. Di Finlandia, proses seleksi untuk menjadi guru harus melewati beberapa test yang ketat, sejajar dengan memasuki fakultas hukum maupun kedokteran. Guru juga diberi kebebasan dalam menentukan kurikulum, text-book, hingga metode pengajaran dan evaluasi. Negara-negara maju berani investasi besar-besaran untuk pendidikan. Mereka pun membiayai pendidikan guru hingga mendapat gelar master. Situasi yang berbeda terjadi di Indonesia. Kita selama ini sibuk meledek, memberi julukan, mengeluh jika diberi tugas, dan parahnya selalu saja ada yang berharap guru tidak hadir mengajar. Padahal, kita tidak akan mungkin langsung seperti ini tanpa mereka. Agakanya statement ini cukup klise dan sering diulang-ulang, tapi memang benar begitu adanya. Dan ketika kita sudah sukses pun pernahkah kita teringat bahwa kesuksesan yang kita dapatkan saat ini tak lepas dari peran guru. Beberapa dari kita pasti ada yang menyangkal dan berpendapat bahwa kesuksesan yang mereka peroleh sekarang merupakan buah hasil dari kerja keras mereka. seolah-olah tidak pernah ada peran guru dalam kesuksesan tersebut. Murid-murid akan terus berdatangan setiap tahun, menimba ilmu, menempuh jenjang lebih tinggi, mengejar cita-cita masing-masing, sementara guru hanya akan terus berada di sekolah itu mengulang-ulang hal yang sama untuk diajarkan kepada kita.

Mungkin ada baiknya kita intropeksi diri mengapa guru kurang dihargai oleh murid di Indonesia. Pembelajaran yang diterapkan di Indonesia adalah pembelajaran satu arah, dimana guru menerangkan dan murid mendengarkan. Mungkin-mungkin dua arah, ketika guru melemparkan kesempatan untuk murid yang ingin bertanya. Akan tetapi, konsep tersebut justru membuat sosok guru sebagai ‘orang yang serba tahu’ sehingga, seolah-olah tidak ada kebebasan murid untuk memberikan feedback. Adapun kasus yang lain, guru-guru yang kurang open-minded, tidak mau di kritik dan suka memberikan hukuman berupa fisik. Kesan guru yang menakutkan inilah yang akhirnya membuat anak-anak tidak enjoy dalam menjalani proses pembelajaran. Padahal, lingkungan yang menyenangkan lebih penting daripada konten padat konsep. Karena, lingkungan akan mempengaruhi daya serap murid terhadap ilmu yang diberikan. Jika ilmu tersebut dikemas dengan baik tapi murid tidak merasakan kenyamanan dalam proses pembelajaran, maka yang ada hanyalah seperti kata pepatah ‘masuk kuping kiri, keluar kuping kanan’

Kembali mencontoh proses pembelajaran dari negara yang memiliki sistem pendidikan yang baik, mereka menggambarkan peran guru sebagai sosok ‘teman’. Baik teman untuk diskusi, bertanya, mengingatkan dan mengawasi. Proses pembelajaran dua arah, selalu ada feedback. Diskusi adalah modal utama, karena dengan diskusi, kita bisa menganalisa segala sesuatu dari beberapa sudut pandang, secara otomatis murid-murid akan memiliki kemampuan berpikir kritis. Lingkungan belajar yang fun dan tidak banyak tekanan tugas yang memforsir membuat murid merasa belajar adalah sesuatu yang menyenangkan.

Sebenarnya, kurikulum 2013 atau yang biasa disebut kurtilas, merupakan kurikulum yang mantap, dimana di dalamnya terdapat pendidikan karakter dan pendidikan self aware. Self aware yang dimaksud adalah situasi dimana anak didorong untuk belajar mandiri, tetapi tetap tanpa menghilangkan peran guru. Sayangnya, implementasi dengan konsep tidaklah sinkron. Beberapa orang berpendapat hal ini terjadi karena terlalu terburu-burunya Mentri Pendidikan dalam membuat perubahan, sedangkan kondisi guru dan anak murid belum siap menerima perubahan tersebut. Statement tersebut bisa jadi benar, namun jika kita ingin menunggu kesiapan guru dan murid, akan memakan waktu yang lebih lama. Dewasa ini negara maju maupun berkembang terus meng upgrade sistem pendidikan kearah yang lebih baik. Jika Indonesia hanya diam dan stuck, maka kita akan tertinggal. Ada baiknya sambil kurikulum ini diterapkan, guru dan murid pun saling belajar menyesuaikan dengan standar kurikulum 2013 yang berlaku. Proses ketimpangan dan adaptasi biasa saja terjadi di dalam perubahan kebijakan. Yang terpenting, kita harus optimis bahwa sesuai dengan target Mentri Pendidikan, Indonesia sistem pendidikannya sebanding denga negara maju di 10 tahun mendatang.

Harapannya, sistem pendidikan Indonesia yang dimotori oleh peran guru dapat menuju kearah yang lebih baik. Kita dapat melihat dan membandingkan proses pembelajaran dan sistem pendidikan yang di terapkan di Indonesia dengan negara yang sudah memiliki penerapan yang baik. Akan tetapi, janganlah diambil seluruhnya mentah-mentah. Perlu diingat lagi bahwa kita memilki perbedaan budaya, maka perlu disesuaikan dengan kondisi kita saat ini. Semoga pendidikan Indonesia bisa lebih baik mengingat pendidikan adalah aspek yang vital.

Penulis: Alsha Merancia, Siswi SMAN 1 Bogor

Related Articles

Latest Articles