Gaya Hidup, Sebuah Pilihan atau Sudah Terkondisikan?

SuaraJakarta.co – Dewasa ini, kita melihat banyak sekali orang-orang berbicara tentang gaya hidup. Mulai dari aktivitas sehari-hari (seperti makanan yang dimakan, tempat nongkrong (berkumpul), dan olahraga) sampai dengan cara pandang orang terhadap sekelilingnya. Banyak orang yang beranggapan bahwa gaya hidup adalah sebuah pilihan (selera) individu yang didorong oleh motivasi-motivasti tertentu. Namun, hal ini tidak bisa disimplifikasikan begitu saja, karena tentunya kita harus memahami faktor-faktor determinan serta pendukungnya, agar apa yang tampak dipermukaan tak hanya menjadi sebuah etalase. Tetapi juga jauh melampaui apa yang tampak tersebut menimbulkan banyak tanya, dan implikasi yang luas dengan kaitannya dalam kehidupan sosial.

Gaya hidup juga adalah persoalan yang rumit dan tidak sederhana untuk dikupas. Alhasil banyak Ilmuwan dan masyarakat awam yang memandang gaya hidup sebagai proses dari hukum sebab akibat. Padahal berdasarkan asumsi kami tentu efek domino yang terima oleh gaya hidup seseorang atau komun, berasal dari bagaimana hegemoni kekuasaan berjalan dan mempertahankan kekuasaanya, serta bagaimana masyarakat itu dikontrol dan bagaimana pada akhirnya masyarakat kehilangan nalar kritisnya.

Manipulasi Kultural Era Post-modernism

Kompleksitas persoalan gaya hidup tidak lepas dari budaya yang berkembang pada suatu struktur masyarakat. Secara universal maupun partikular budaya dan gaya hidup sangat erat kaitannya dengan mode produksi dan taraf hidup individu. Seperti halnya budaya pop yang menghegemoni merupakan sebuah konsekuensi logis dari kemajuan industri sebagai sebuah subyek dan masyarakat yang terobyektifikasi. Dalam masyarakat era post-modernism, logika neo-liberal muncul sebagai sebuah tembok yang kokoh dan menjadi sebuah keniscayaan. Logika inilah yang mereifikasi masyarakat bahwa hedonisme adalah sebuah hak asasi setiap individu yang membuat mereka menafikan kesenjangan disekitarnya.

Asumsi ini diperkuat dengan teori tentang manusia satu dimensi oleh Herbert Marcuse dalam Valentinus Saeng (2012 : 242), yang menjelaskan bahwa pola penindasan telah mengalami perubahan radikal sejak perkembangan teknologi. Praksis kekuasaan memilih menghindari penindasan secara langsung karena dianggap sudah tidak relevan dan hanya akan menghimpun amarah masyarakat untuk melakukan perlawanan. Sebab itu, penguasa memilih pola penindasan secara tidak langsung atau bisa dibilang lebih halus dan tak kasat mata namun sangat efektif dalam membuat masyarakat tidak sadar akan ketertindasannya.

Dengan transformasi pola penindasan ini, membuat masyarakat secara tidak sadar menerimanya sebagai realita yang sebenarnya. Mereka tidak sadar bahwa keadaan mereka telah terkondisikan oleh sistem yang ada. Dalam hal ini, fundamentalisme pasar menginternalisasikan transendensi sebagai prinsip transendensiasi tanpa akhir, ke lubuk hasrat manusia sebagai konsumen yang selalu kekurangan1. Yang kita harus pahami ialah adanya distingsi tentang kebutuhan dan keinginan (baca : kebutuhan palsu). Perihal peran fundamentalisme pasar disini artinya adalah masyarakat telah dibutakan oleh trend-trend pasar yang dengan sengaja menggiring masyarakat untuk mengikutinya.

Pengkondisian Absolut Obyektifikasi Masyarakat

Kesadaran masyarakat yang telah terpudarkan ini semakin tak terbendung lagi, fenomena yang nampak dan mudah diamati adalah di media sosial. Sering kali kita menjumpai orang-orang yang dengan mudahnya me-like atau men-share dan mendukung berita, opini, atau kutipan kalimat yang bernada sosialistik. Tetapi di lain hal orang-orang tersebut juga meng-update atau berperilaku kontrakdiktif dari apa yang telah ia afirmasi sebelumnya, seperti memamerkan kemewahan, hedonisme akut. Serta banyak dari mereka mengajukan sebuah pembelaan dengan dalih hak-asasi atau mengafirmasi perbuatan tersebut tidak sama sekali merugikan orang lain.

Dalam hal ini kesadaran kelas orang-orang berikut lumpuh seketika, seperti yang telah dijelaskan di muka. Mereka seolah-olah terlepas dari struktur sosial yang di dalamnya terdapat pembagian kelas. Pada akhirnya, obyektifikasi masyarakat oleh kaum kapitalis terkondisikan secara absoulut. Maksudnya adalah semua perangkat kapitalisme (meliputi pasar, kekuasaan politik, dan media) secara integralistik mengalienasi semua anasir-anasir yang ingin merobohkan legitimasi kapitalisme.

Penutup

Hemat penulis, gaya hidup bukanlah suatu pilihan melainkan telah terkondisikan. Adapun bisa dibilang pilihan, itu berarti kebebasan yang di gadang-gadang kaum kapital saat ini hanyalah bersifat semu atau dengan kata lain kebebasan dalam keterbatasan. Dimana keterbatasan tersebut berpretensi pada sebuah sistem yang menginternalisasikan individu pada keterpaksaan yang bersifat transenden. Hal ini berakumulasi pada ketidakpuasan akan taraf hidup yang mengedepankan asas hidup kesetaraan dan egaliter. Pada gilirannya, seseorang yang telah terobyektifikasi menyandarkan gaya hidupnya pada standar-standar yang telah dibuat demi kepentingan kaum kapital.

Daftar Pustaka
Saeng, Valentinus. Herbert Marcuse Perang Semesta Melawan Kapitalisme Global. Jakarta: Gramedia. 2012.
[1] Martin Suryajaya, Imanensi dan Transendensi (Jakarta: Aksi Sepihak), 2009, hlm. 251.

Penulis: Villarian Kader PMII Komfisip UIN Jakarta dan Ryan Martin Kader HMI Komfastek UIN Jakarta

Related Articles

Latest Articles