Belajar Korupsi di Negeri Ini?

SuaraJakarta.co, Dari sebuah riset yang pernah dilakukan tim akademik Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 2009 tentang kecurangan mahasiswa, diperoleh 58 persen responden mengaku pernah melakukannya di bangku SD, 78 persen di SMP, 80 persen di SMA, dan 37 persen setelah memasuki perguruan tinggi

Ilustrasi Nyontek (gambar : istimewa)

Jakarta – Menyontek. Itulah salah satu perbendaharaan kata yang sepertinya tidak asing lagi di dunia pendidikan Indonesia. Ketika kita ingin survey, amat mungkin sedikit sekali persentase siswa yang tak pernah menyontek walaupun sekali sepanjang perjalanan studinya. Walaupun tentu saja kadar menyonteknya pun pasti berbeda-beda. Hal yang melatar belakangi praktik tak jujur ini pun beraneka ragam. Beberapa dari mereka ada yang ‘terpaksa’ melakukannya karena belum menguasai materi tertentu. Tak sedikit pula yang sudah sampai tahap ‘ketagihan’, sehingga belum puas rasanya jika belum mencocokkan jawabannya dengan jawaban temannya. Namun, kita tidak akan berkutat pada alasan atau seberapa jauh intensitas menyontek siswa Indonesia saat ini. Menurut penulis, hal yang lebih menarik untuk diperhatikan ialah pertanyaan: Bagaimana bisa kebiasaan menyontek ini seakan menjadi borok bagi dunia pendidikan kita?

Dari sebuah riset yang pernah dilakukan tim akademik Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 2009 tentang kecurangan mahasiswa, diperoleh 58 persen responden mengaku pernah melakukannya di bangku SD, 78 persen di SMP, 80 persen di SMA, dan 37 persen setelah memasuki perguruan tinggi. Memang ini hanyalah salah satu contoh yang sepertinya belum merepresentasikan Indonesia secara umum. Akan tetapi, bila kita gali lebih dalam lagi, penulis kira persoalan meyontek ini seperti fenomena gunung es. Artinya, apa yang terjadi sebenarnya (realita) masih jauh lebih banyak dari apa yang saat ini diketahui. Hipotesis ini didukung oleh masih banyaknya kasus pembocoran soal ujian di banyak tempat di nusantara ini. Bahkan di lingkungan terdekat kita pun sepertinya tidak sulit untuk mencari bukti penguat hipotesis ini.

Ilustrasi Nyontek (foto: istimewa)

Sebelum beranjak lebih jauh, ada baiknya kita mengetahui sebab umum penyebab siswa menyontek. Menurut Bower (1964), secara umum penyebab seorang siswa menyontek ialah ingin mendapatkan keberhasilan akademik atau menghindari kegagalan akademik. Sedangkan Dien F. Iqbal, dosen Fakultas Psikologi Unpad, seperti yang dikutip Rakasiwi (2007), mengungkapkan bahwa orang menyontek disebabkan faktor dari dalam (internal) dan di luar dirinya (eksternal). Faktor internal contohnya seperti kurangnya self esteem dan self confidence (kepercayaan diri) seseorang. Adapun faktor eksternal yang biasanya menjadi penyebab utama ialah peer pressure (pengaruh tekanan ptimi). Namun demikian, penulis berpendapat bahwa faktor internal tetap menjadi yang paling menentukan dilakukan atau tidaknya aktifitas menyontek ini. Di celah inilah salah satunya penanaman nilai-nilai moral dibutuhkan perannya.

Lalu, kenapa persoalan meyontek ini menjadi penting? Mungkin ada yang beranggapan bahwa negeri ini lebih butuh memikirkan persoalan yang lebih besar, bukan perkara remeh seperti ini. Maka, dengan tegas penulis mengatakan bahwa menyontek akan berpotensi menjadi salah satu akar masalah terbesar Indonesia, yaitu korupsi. Nampaknya ini ‘ramalan’ ini sudah tercium dengan baik oleh banyak negara dan bangsa maju di dunia saat ini. Amerika Serikat, Eropa, dan Cina sudah memandang serius perkara ini. Bahkan ada sumber yang menyatakan bahwa pelaku menyontek dalam ujian penerimaan pegawai di zaman Kerajaan Cina Kuno bisa diganjar hukuman mati. Di Amerika persoalan menyontek pernah jadi isu yang hangat karena dampak kebiasaan menyontek telah merambah sampai ke kepentingan ptimi secara serius. Sampai-sampai siswa di sana yang kedapatan menyontek bisa terancam dikeluarkan dari sekolahnya. Sehingga tak heran apabila budaya jujur, disiplin, dan percaya diri lekat dengan dunia pendidikan negara-negara tersebut. Bagaimana dengan Indonesia? Sudahkah ini mendapat perhatian khusus?

Sungguh ironis ketika Bangsa Indonesia yang ‘katanya’ memegang teguh budaya Timur, pendidikannya masih jauh dari nilai kejujuran. Sedangkan bangsa Barat yang ‘katanya’ bebas, bisa menciptakan iklim pendidikan yang sarat dengan nilai-nilai kejujuran. Apabila keadaan  ini terus berlanjut, sepertinya kerusakan sudah tinggal menunggu waktunya. Hal ini diperkuat oleh kesimpulan sebuah riset, bahwa siswa yang melakukan tindakan kebohongan akademik cenderung akan berbohong di tempat kerja (Lawson, 2008). Sehingga tak heran apabila masih banyak pekerja bahkan pejabat di negeri ini melakukan praktik tak jujur. Mungkin saja ini akibat dari belum terpaterinya nilai kejujuran. Padahal penanaman nilai ini selayaknya bisa didapat saat menempuh pendidikan.

Terlepas dari itu semua, hendaknya kita masih menyimpan optimisme untuk mengatasi persoalan bersama ini. Hal ini mengingat pemerintah sebenarnya sudah memiliki rumusan yang bagus tentang hakikat tujuan pendidikan nasional.

Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menyebutkan tujuan pendidikan nasional teresbut ialah: “…. berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat jasmani dan rohani, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.”

Jadi, pada dasarnya pemerintah telah sadar bahwa pendidikan bukan hanya bertujuan aspek kognitif (keilmuan) saja. Ada aspek lain yang harus dicapai juga, yaitu afektif (sikap atau tingkah laku) dan psikomotorik (keterampilan atau praktik). Bahkan, kalau kita perhatikan di tujuan nasional yang tersebut di atas aspek afektif sangat diutamakan. Hal ini bisa dilihat dari frase manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia yang diletakkan di awal tujuan pendidikan nasional. Artinya, aspek tersebut seharusnya menjadi prioritas perhatian. Namun demikian, seringkali teori tak sama dengan praktik. Apa yang terjadi di lapangan masih jauh dari yang kita impikan. Tentu kita tidak bisa semata-mata menyalahkan pemerintah atas ketidakcocokan realita dan idealitas ini. Kita semua juga punya andil untuk ambil bagian dalam upaya mengentaskan para siswa bangsa dari ‘lumpur’ ketidakjujuran.

Penulis berpendapat ketika persoalan ini sudah bisa ditangani, penyakit korupsi yang sampai saat ini belum ditemukan obatnya itu akan sedikit berkurang. Mengapa? Salah satunya ialah karena mereka yang memegang tampuk pimpinan negeri ini dari mulai tingkat terendah sampai tertinggi ialah pribadi yang telah terdidik dan terbiasa untuk berlaku jujur. Dan sekali lagi masing-masing kita mempunyai peran untuk menentukan apakah itu akan menjadi kenyataan atau hanya sekadar mimpi yang terlalu tinggi.

*) Penulis adalah Mahasiswa Sampoerna School of Education

Related Articles

Latest Articles