Ada Apa Dengan Banjir Jakarta?

SuaraJakarta.co – JAKARTA kembali dikepung banjir. Hujan yang mengguyur Ibu Kota sejak Minggu (8/2/2015) hingga Selasa (10/2/2015) menyebabkan sejumlah wilayah terendam. Sejumlah titik jalan di Jakarta terendam banjir, termasuk jalan protokol seperti jalan Medan Merdeka Utara depan Istana Kepresidenan, bundaran patung kuda di Jl. M.H. Thamrin, perempatan Sarinah, dan sebagainya.

Pengamat tata kota Nirwono Yoga menuturkan bahwa penyebab genangan air di beberapa titik karena buruknya sistem saluran air kota, sehingga pada waktu musim hujan tidak bisa berfungsi dengan cepat mengalirkan air. Kemudian selain itu juga karena kondisi tanah kita, apalagi wilayah Jakarta Utara sudah jenuh.

Banjir seakan menjadi ritual bagi Ibu Kota bila musim penghujan tiba. Sejarah mencatat telah terjadi banjir di Jakarta sejak 1621, 1654, 1873, 1918 hingga sekarang karena limpahan air dari sungai Ciliwung, Cisadane, Angke, dan Bekasi.

Banjir dan Janji Gubernur

Banjir Jakarta 2015 ini seakan mengingatkan saya akan janji pasangan Jokowi-Ahok pada saat kampanye Pilkada Gubernur 2012 lalu. Dalam kampanye 2012 mereka menjanjikan akan mengatasi masalah banjir dan macet di Jakarta. Tiga tahun sudah sejak janji itu disampaikan, nyatanya masalah klasik Ibu Kota seperti banjir dan macet belum terurai juga.

Secara pribadi sebagai warga Jakarta tentunya saya sangat merasakan penderitaan dikala banjir melanda. Sepanjang musim penghujan 2014 lalu, saya sampai mengalami 4 kali kebanjiran. Mirisnya, saat itu banjir selalu datang menjelang tengah malam. Kesibukan mengevakuasi anak-anak yang ketiganya masih balita merupakan prioritas utama. Akibatnya saat air masuk rumah, saya tidak sempat mengamankan sejumlah koleksi buku, kasur, dan sebagainya. Pada saat banjir, aliran listrik mati, sumber air bersih/ Palyja pun ikut mati. Lengkap sudah penderitaan saya saat itu.

Mengatasi banjir Jakarta memang tak semudah membalikan telapak tangan. Ahok selaku Gubernur DKI mungkin telah bekerja ekstra memikirkan hal tersebut. Sebagai upaya yang beliau lakukan dalam mengatasi banjir ditempuh melalui penggusuran ribuan rumah kumuh di bantaran kali yang dituding sebagai salah satu biang kerok penyebab banjir Jakarta. Penggusuran di 131 titik lokasi menghabiskan dana RP 5.8 triliun dari APBD 2014. Tentunya itu bukan biaya yang sedikit dan patut dipertanggungjawabkan kepada publik.

Alih-alih fokus mengurusi masalah banjir, Ahok malah berdalih bahwa banjir Jakarta 2015 ini salahsatunya karena pompa Waduk Pluit tidak berjalan optimal. Mengapa? Karena PLN dituding sengaja mematikan aliran listriknya. Ahok pun menuding ada pihak lain yang melakukan sabotase sehingga kawasan Ring I, termasuk Istana Negara dan gedung pemerintahan ikut terendam. Rasanya sikap mengkambing hitamkan institusi maupun orang lain tidak akan menyelesaikan pokok masalah yang sebenarnya.

Banjir, Perilaku, dan Sistem

Berbincang tentang Jakarta bebas banjir tentunya bukan suatu hal yang utopis jika seluruh komponen masyarakat dan pemerintah serius berusaha mewujudkannya. Kita mempunyai “pekerjaan rumah” tentang banjir Jakarta yang harus segera diselesaikan. Mengapa banjir Jakarta terus berulang? Apanya yang salah? Apakah kita kekurangan pakar perencana tata kota? Apakah kita kekurangan usaha dan dana untuk membiayai antisipasi program penanggulangan banjir? Adakah faktor utama yang memicu fenomena banjir tahunan ini?

Mengutip pendapat Prof. Dr. Ing. Fahmi Amhar, Peneliti Badan Informasi Geospasial menyatakan bahwa pengendalian banjir memerlukan sistem keras (fisik) dan sistem lunak.

Terdapat beberapa teknologi inti sistem keras, yakni (1) peningkatan daya resap baik dengan pohon maupun sumur resapan, (2) pembuatan setu dan tanggul, (3) kanalisasi (termasuk normalisasi sungai dan sodetan), (4) pompanisasi yang optimal (belajar dari Amsterdam, meskipun sebagian besar wilayahnya lebih rendah 7 meter dari permukaan laut, berkat sistem pompa yang cukup ternyata sudah 40 tahun lebih tidak banjir. Pompa-pompa modern dilengkapi pula dengan sensor hujan atau air pasang sehingga otomatis bekerja saat dibutuhkan).

Masih menurut Fahmi Amhar, meskipun teknologi sistem inti tadi sudah dioptimalisasi dengan simulator dan dipasang dengan komposisi ideal, tetap saja bisa menjadi bencana bila sistem lunaknya tumpul.

Terdapat banyak sistem lunak, tetapi yang akan dibahas hanya lima contoh saja. Pertama, sistem pengelolaan sampah. Tumpukan sampah di selokan dan sungai turut andil memicu banjir. Perilaku buang sampah sembarangan selain karena kebiasaan buruk juga karena kelangkaan tempat sampah dan ketidakjelasan pengangkutannya. Dari sini dituntut upaya pengelolaan sampah yang lebih optimal. Peningkatan tunjangan petugas pemungut sampah, dan sebagainya.

Kedua, perencanaan sistem tata ruang berbasis bencana. Artinya mengembangkan kota sudah disertai dengan simulasi seperti apa kota itu bila diberi bencana tertentu seperti banjir, gempa, dan tsunami. Juga menyiapkan diri dengan tempat dan rute evakuasi bila bila banjir atau bencana lain terjadi.

Ketiga, sistem distribusi ekonomi. Ekonomi kapitalisme berbasis riba sangat mendorong urbanisasi karena ada cukup uang yang tidak benar-benar ditanam di sektor real. Andai kata sistem syariah yang dipakai, modal akan mengalir ke sektor real sehingga laju urbanisasi bisa dikendalikan.

Keempat, sistem edukasi bencana yang perlu diterapkan pada semua komponen baik masyarakat, elit politis, selebritis, maupun media massa.

Kelima, sistem manajemen pemerintah yang tanggap bencana. Semua orang yang akan menjadi pejabat publik perlu dibekali manual bila ada bencana beserta trainingnya.

Berdasarkan uraian di atas, untuk mengupayakan Jakarta bebas banjir maka harus dibarengi aksi nyata yang komprehensip dari seluruh komponen masyarakat dan pemimpin. Perilaku menjaga kelestarian lingkungan harus ditanamkan dari sekarang. Salah satu aksi nyatanya dengan tetap membiarkan daerah hulu menjadi areal hutan lindung sehingga daerah resapan air tetap optimal, bukan malah mengalihfungsikan menjadi vila, lapangan golf, atau perkebunan.

Pada sektor hilir pemerintah memang sudah berusaha melakukan normalisasi sungai, salahsatunya dengan menggusur rumah kumuh di bantaran kali. Namun, upaya ini harus dibarengi dengan pembangunan hunian alternatif yang manusiawi sehingga tidak menimbulkan problem sosial ikutan pasca pembongkaran.

Fenomena banjir Jakarta ini sejatinya segera bisa diatasi seandainya saja kita cerdas menangkap sinyal pesan Illahi berikut: “telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan-tangan manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.

Penulis: Homsah Artatiah, Alumni Biologi Institut Pertanian Bogor (IPB)

Related Articles

Latest Articles