SuaraJakarta.co, JAKARTA – Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Angkutan Sekolah, Nurhayati Sinaga, memaparkan sejumlah masalah yang ditemui Dinas Perhubungan DKI dalam memaksimalkan pelayanan bus sekolah.
Masalah pertama, yakni adanya penolakan dari rute angkot KWK dan angkutan umum lainnya untuk pengembangan rute-rute tertentu bus sekolah.
“Berbenturan dengan KWK, padahal mereka cuma sampai jam lima. Sementara lewat jam lima pelajar tidak ter-‘cover’, sehingga naik ojek yang biayanya cukup mahal,” ujarnya, dalam acara diskusi bertajuk “Bus Sekolah Gratis; Antara Problem dan Solusi” yang digelar Himpunan Masyarakat Untuk Kemanusiaan dan Keadilan (Humanika) Jakarta bekerjasama dengan Jakarta Monitoring Network (JMN) di lobby DPRD DKI, Rabu (26/11).
Masalah kedua, adanya kemacetan lalu lintas di kawasan yang dilintasi bus sekolah. Ketiga, tentang belum optimalnya kordinasi dengan sekolah dalam memanfaatkan bus sekolah. Padahal secara fisik bus sekolah tidak kalah saing dengan angkutan bus yang berbayar.
“Banyak problem untuk memaksimalkan. Pertama secara keunggulan hanya di fasilitas. Bus-nya dilengkapi GPS, CCTV, Call center. Jadi bisa tau supirnya siapa kondekturnya siapa. Kalau dibandingkan dengan bus yang berbayar, bus sekolah ini patut dipilih,” ujar Nurhayati.
Dibeberkannya, jumlah armada bus sekolah saat ini masih terbatas lantaran armadanya banyak yang rusak.
“Total ada 104 armada. Dari 104 ini yang rusak buatan tahun 2006. Dengan kondisi pol di tempat banjir. Tahun 2010 pernah banjir, ada 33 armada yang rusak. Setelah kita hitung-hitung, ‘cost’ untuk perbaikan lebih mahal dibanding beli baru.”
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, M Taufik, mendukung program bus sekolah yang diadakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dilanjutkan. Menurutnya, itu menunjukkan bahwa pemerintah dan negara menyediakan layanan demi masa depan bangsa.
“Tinggal bagaimana kita memetakannya, prioritasnya untuk siapa? Kalau anak orang kaya, enggak perlu karena orang tuanya sayang betul, sehingga dia diantar sampai depan pintu sekolah. Jadi, enggak mungkin satu juta pelajar di Jakarta seluruhnya dilayani,” kata Taufik.
Taufik pun menyarankan, agar Pemprov DKI Jakarta mengajukan alokasi anggaran untuk menambah armada bus sekolah, karena yang saat ini beroperasi jumlahnya masih minim. “Tapi harus jelas, wilayah mana saja yang harus ditambah. Jadi jangan takut, karena solusi hari ini adalah untuk menyelesaikan problem masa depan,” tambahnya.
Di kesempatan sama, pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Darmaningtyas mengatakan, untuk evaluasi trayek bus sekolah, sepatutnya UPT Angkutan Sekolah yang berada dibawah Dinas Perhubungan berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan.
Darmaningtyas juga menyarankan, sebaiknya bus sekolah bisa digunakan selain sebatas mengangkut pelajar saat akan berangkat dan pulang sekolah. “Ini harus dipertimbangkan, karena saat ini bus sekolah jadi kurang efisien karena cuma dipakai untuk angkut pelajar pada pagi hari dan sore hari,” sambungnya.
Dia juga berharap, UPT Angkutan Sekolah meniru Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gajah Mada (UGM) yang menyediakan parkir dan jalur sepeda dekat halte bus, agar lebih efektif. “Kalau ini bisa jalan, saya kira bus sekolah punya makna memberi pelayanan lansung kepada pelajar untuk transportasi aman, terjangkau,” terangnya.
“Selain itu bisa berkontribusi kurangi kemacetan, meskipun sekarang masih cuma 0,5 persen. Tapi enggak apa-apa, nanti bisa kayak Amerika Serikat, separuh pelajar diangkut bus sekolah. Makin banyak bus sekolah, juga akan semakin banyak tenaga kerja direkrut,” pungkas Darmaningtyas.