“Nak, uban dikepala Ibu mulai banyak. Maukah kau bersikap lebih dewasa dan tidak membuat malu Ibu lagi?,” ujar Ibu sambil menitikkan airmata.
Kata-kata yang keluar dari mulutnya, begitu dalam, sederhana. Tapi menancap sedalam-dalam rasa sesal dihatiku. Iya, sejak ucapan Ibu itu terlontar, Aku tak akan bertindak bodoh lagi. Cukup sudah Aku menoreh malu pada keluarga. Pasca permintaannya malam itu, Aku berjanji tidak akan berkelahi lagi.
Kala itu, Aku baru berumur delapan belas tahun. Tepat kelas tiga, di suatu Madrasah Aliyah di Tuban. Waktu itu aku masih muda, masih sibuk bergaul dengan teman-teman yang latarbelakangnya macam-macam. Mulai teman yang tukang main perempuan, peminum, pendakwah hingga yang suka tawuran. Meski dunia remajaku lekat dengan hal-hal diatas, anehnya Aku tak pernah ikut-ikutan. Aku hanya mengambil perkawanannya, tapi tidak untuk hal-hal negatifnya. Waktu itu aku begitu menikmati perkawanan yang homogen tersebut, hingga tak sadar kalau makin hari ibuku mulai makin menua.
Keluarga kami begitu miskin, tak punya apa-apa. Bahkan listrik pun kami masih nebeng tetangga. Iya, kami memang tak mampu memasang meteran listrik dari PLN. Sedang Ibuku, hanya seorang janda beranak enam. Seorang Petani kecil, yang SD pun tak lulus. Tercatat, beliau Sekolah Dasar hanya sampai kelas tiga saja. Selebihnya putus karena kesulitan ekonomi.
Beliau tak terlalu mahir membaca tulisan latin, tapi cukup lancar membaca Al Qur’an. Usai sholat maghrib, Ibu selalu membaca kitabullah. Meski tak paham artinya, tiap malam beberapa surat berhasil ia khatamkan.
Kebetulan di desaku, angka kemiskinan masih cukup tinggi. Disana banyak orangtua yang tidak sabar hidup dalam kemelaratan, men-stop anaknya dari bangku sekolah dan menyuruhnya kerja cari uang. Gegara orangtua buru-buru ingin melihat anaknya dapat penghasilan, banyak yang mengirim anaknya jadi TKI ke Malaysia.
Akibat rendahnya pendidikan dan minimnya lapangan pekerjaan, Pemuda di desa larut dalam kehidupan yang “mikirnya hari ini saja”. Mereka kurang produktif dan tak menyiapkan bekal apa-apa untuk masa tua. Pada masa itu, pemuda-pemuda banyak hidup dibawah pengaruh rokok, miras dan mulai mengenal pergaulan bebas.
Beberapa kawan terdekat pun banyak yang terjerat candu alkohol. Harapan akan masa depan yang suram, membuat mereka berpaham “Hidup ya hari ini. Esok hanyalah misteri yang tak terlalu perlu dipikirkan”. Dari cara berpikir sempit itulah, teman-teman banyak yang hidup dalam suasana money oriented. Berhasil atau tidaknya seseorang, diukur dari seberapa tebal uang yang digenggam hari ini.
Dari sana, muncul kecenderungan hidup yang mengabaikan hal-hal nonmateri. Sekolah dianggap tak terlalu penting, karena ujung-ujungnya juga untuk mencari duit. Seorang lelaki diperhitungkan dari seberapa besar gaji tiap bulannya, akhirnya yang gajinya kecil misalnya guru honorer, diremehkan. Pemuda masjid yang lulusan pondok dan kalah bersaing dilapangan kerja pun, banyak yang tak laku (jomblo) dan jadi perjaka tua.
Kehidupan mereka begitu hedon dan konsumtif. Musholla dan langgar menjadi sepi. Jamaah sholat berjamaah di masjid sedikit. Dimana-mana malah menjamur warung kopi yang dijaga gadis-gadis cantik. Di desa tidak ada perpustakaan atau taman baca. Motivasi hidup orang-orang seolah hanya uang, uang dan uang.
Dalam kondisi itulah, aku mulai merasa muak. Nilai-nilai yang selama ini dijunjung tinggi, perlahan mulai pudar. Ada suasana dimana kehidupan spiritual terasa kering dan hambar. Tren menunjukkan, tempat-tempat hiburan menjadi sumber utama pengalih kebiasaan orang-orang, sehingga menciptakan kekosongan kegiatan di rumah ibadah.
Saat pemuda lain menghabiskan malam minggu dengan pacaran, Aku sibuk bergelut latihan Pencak Silat. Dan ibu tetap dengan kesibukannya, membaca Al Qur’an sepanjang malam. Seolah doa-doa yang ia panjatkan, ditujukan untuk memagari anak-anaknya dari terpengaruh kehidupan matrealis dan berbuat dosa.
Malam itu, aku tak paham apa yang ada dibenak ibuku. Ia terlihat begitu yakin akan hasil dari yang dilakukannya tiap malam tersebut. Seolah Tuhan telah berinya bocoran akan ujung dari ikhtiarnya.
Ibuku memang beda dari orangtua lainnya di desa. Meski kami hidup serba kekurangan, beliau mengajak terus bertahan. Menurutnya, kekuatan terbesar manusia terletak dari seberapa lama dia mampu bertahan dalam kekurangan, penderitaan dan tekanan. Dia tak pernah mendorong kami untuk cepat-cepat bekerja laiknya remaja lain, ia hanya ingin anak-anaknya dapat sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
Baginya, hidup serba kekurangan tak jadi soal. Yang penting, anak-anaknya dapat mengenyam pendidikan. Meski tak lulus Sekolah Dasar, pola pikirnya amat luas dan visioner bagi ukuran beliau.
Pada suatu hari, ada saudara jauh yang mencurangi Ibu mengenai pembagian harta waris. Dari hak yang harusnya diberikan pada almarhum bapak, Ibu harusnya bisa dapat lebih. Tapi beliau tidak marah atau dendam. Aku sebenarnya tidak terima melihat kedzaliman tersebut, tapi Ibu hanya mengajak sabar, sabar dan sabar. Aku pun hanya bisa nurut dan merasa prihatin.
Bersabar baginya adalah obat mujarab dalam menjalani kehidupan. Saat digunjing orang, beliau bersabar. Saat dicurangi dan tak dianggap, beliau juga terus bersabar. Bahkan saat ditinggal Bapak wafat dengan enam orang anak yang masih kecil-kecil dan belum ada satupun yang becus mencari duit, beliau juga hanya punya satu resep, yaitu bersabar. Sekalipun, Ibu tak pernah menjual atau menggadaikan aset peninggalan bapak untuk sekedar menutupi kekurangan kebutuhan sehari-hari.
Baginya, anak-anaknya berhak melihat benda-benda (betapapun nilainya kecil) hasil dari jerih payah usaha Bapaknya semasa masih hidup.
Kini, buah dari kesabarannya dalam menghadapi ujian, menghantarkan keempat anaknya bisa kuliah di Fakultas Hukum. Satu orang jadi Pengacara dan Tim Hukum Partai Demokrat. Satu orang lainnya jadi Tenaga Ahli DPR RI, serta dua orang lagi sedang menempuh kuliah hukum di Universitas Al Azhar di Ibukota, Jakarta.
Penulis: Muhammad Mualimin, Mahasiswa UIN Jakarta