SuaraJakarta.co, JAKARTA – Direktur Eksekutif Center for Information and Development Studies (CIDES) Rudi Wahyono menyampaikan dari hasil riset yang dilakukan oleh beberapa lembaga antariksa internasional diprediksi bahwa El-Nino 2015 akan berlangsung sampai awal tahun 2016. Beberapa lembaga antariksa tersebut adalah yang berasal dari Amerika (NOAA dan NASA), Eropa (ESA), dan Australia (CSIRO).
“Bahkan, media di Amerika dan Australia menyebut El Nino 2015 ini bakal menjadi ’Terbesar dalam 100 Tahun’, dengan sebutan ’Super El Nino’ dan ”Godzilla’,” jelas Rudi di Jakarta, minggu (25/10).
Menurut Rudi, ada 3 (tiga) faktor utama yang mendorong kondisi kemarau berkepanjangan tersebut. Pertama, faktor ENSO (El Nino Southern Oscillation) yang positif kuat, IOD (Indian Ocean Dipole) positif, dan radiative force matahari yang meningkat.
“ENSO pada 2015 positif dan kuat dibuktikan dengan Citra satelit Jason-2 awal oktober menunjukkan indikasi bahwa El Nino 2015 lebih kuat dari El Nino 1997/98 yang tercatat sebagai El Nino terkuat selama ini, ” tutur peneliti yang pernah mendalami ilmu satelit lingkungan di Taiwan, Swiss, dan Norwegia ini.
Kedua, terjadinya fenomena anomali di lingkaran samudera Hindia (IOD), juga fenomena serupa yang terbentuk di lautan Hindia dari Ujung Afrika Timur sampai Ujung Sumatera (ENSO). Rudi menengarai, fenomena IOD ini pula yang memicu badai hujan & pasir di Timur Tengah yang memicu terjadinya tragedi Crane di Masjidil Haram.
“Jadi, di tahun 2015 ini El Nino ini di samudera Pasific positif dan IOD di samudera Hindia juga positif’. Fenomena IOD ini adalah anomaly iklim yang relative baru berpengaruh pada kondisi iklim dan lingkungan di seputaran lautan Hindia mulai tahun 2000-an,” tambah Rudi.
Alumnus Master dari salah satu universitas Taiwan ini menyebutkan, faktor ketiga yang mendorong perubahan iklim semakin ekstrem adalah apa yang dikenal sebagai Space weather. Yaitu, menyangkut pengaruh aktifitas inti matahari yang semakin meningkat.
Rudi menjelaskan dari laporan IPCC (2007) menunjukkan bahwa interaksi radiasi matahari dan GRK di lapisan atmosfer bumi menyebabkan ‘solar radiative force’ meningkat.
“Bila diukur dengan radiasi di tahun 1990 maka pada tahun 2015 ini, ‘Solar Radiative Force’ meningkat sekitar 80 watt per meter persegi. Hal ini berarti kedepan di bumi akan terjadi ‘Surplus Energi Matahari’. Kondisi itu juga semakin menunjukkan bahwa ‘Efek Perubahan Iklim Global’ adalah fakta nyata dan semakin menguat”, tutup Rudi kepada suarajakarta.co, Minggu (25/10).