SuaraJakarta.co, OPINI – Terpilihnya kembali elit-elit politik lama dalam tabuk kepemimpinan partai politik menandakan bahwa adanya kegagalan dalam regenerasi dan kaderisasi internal partai politik. Terpilihnya kembali Wiranto sebagai ketua umum Partai Hanura, Megawati sebagai ketua umum PDIP, dan terakhir SBY sebagai ketua umum Partai Demokrat adalah potret kegagalan regenerasi dan kaderisasi partai politik di Indonesia. Terlebih PDIP dan Demokrat adalah partai besar yang pernah memimpin Indonesia. Potret buruk tersebut juga dapat meramalkan bahwa nasib partai-partai yang masih mengandalkan kepemimpinan karismatik atau ketergantungan dengan figur tidak akan mampu bertahan lama dalam konstelasi perpolitikan Indonesia.
Gun Gun Heryanto membagi tiga tradisi partai politik di Indonesia (Heryanto, 2013). Pertama, tradisi feodal. Tradisi feodal partai politik di Indonesia ditandai dengan ketergantungan partai politik dengan seorang figur. Kedua, tradisi oligarkis. Dalam tradisi oligarkis, kader-kader yang akan ditempatkan di jabatan publik harus meminta restu terlebih dahulu dari pemimpin partai. Ketiga, tradisi transaksional. Tradisi terakhir ini menggambarkan bahwa siapa yang memiliki dana lebih banyak dialah yang berhak memutuskan keputusan internal partai politik.
Tradisi pertama yakni tradisi feodal dapat kita jadikan referensi utama dalam menganalisis fenomena terpilihnya elit-elit lama dalam kepemimpinan partai politik beberapa waktu terakhir ini. Partai politik yang cenderung mengandalkan figur di karenakan figur tersebut memiliki kepemimpinan yang baik sehingga dapat mengatur konflik di internal dan dapat diterima oleh kader serta konstituen. Terpilih Wiranto menjadi ketua umum Hanura tentu di karenakan tidak ada lagi kader di Hanura yang memiliki jaringan seluas Wiranto dalam melakukan kompromi politik dan pencarian dana partai. Juga dengan terpilihnya Megawati sebagai ketua umum PDIP dikarenakan sosok Megawatilah yang dapat mempersatukan partai. Sedangkan jika kita lihat dengan fakta telanjang, banyak sekali kader-kader potensial di intenal PDIP seperti Pramono Anung, Marwuar Sirait, Tjahyo Kumolo, namun lagi-lagi PDIP tidak berani berkesperimen dalam memunculkan kader-kader yang siap memimpin partai. Sama halnya juga dengan Demokrat. Terpilihnya lagi SBY karena permintaan kader menandakan bahwa Demokrat sedang dan akan diambang kehancuran secara bertahap. Mengingat, pasca SBY sudah tidak lagi menjadi ketua umum dan Anas tertangkap KPK karena kasus korupsi, terjadi faksi-faksi di kubuh Demokrat dalam memperebutkan kursi kepemimpinan.
Jika partai politik masih terus menerus mengandalkan pendekatan kepemimpinan karismatik ketibang pendekatan kaderisasi karismatik, maka dapat diramalkan bahwa kedepannya suatu partai politik akan dihadapkan pada masalah-masalah besar di internal partai dan juga akan berimplikasi sampai tingkat pemerintahan. Masalah internal yang akan dihadapi antara lain adalah menjegal lahirnya kader-kader potensial dalam kepemipinan partai, sulitnya regenerasi partai, dan yang paling mengkhawatirkan adalah hancurnya partai politik secara bertahap. Masalah-masalah internal ini tentu akan beimplikasi ke tingkat pemerintahan, dimana akan menghambat lahirnya pemimpin-pemipin nasional yang berkualitas.
Ada dua cara yang harus segera dilakukan partai politik yang masih memiliki masalah kepemimpinan seperti ini, antara lain dengan mendemokratiskan partai politik dan perbaikan kaderisasi. Partai politik harus berani membuat peraturan tentang regenerasi pemimpin partai. Lebih jelasnya pembatasan masa jabatan pemimpin partai. Partai politik adalah instrumen penting demokrasi, tapi ironisnya justru partailah yang seringkali gagal mendemokratisasikan dirinya sendiri, maka dari itu harus ada demokaratisasi di internal partai politik (Muhtadi, 2015). Jika masa jabatan Presiden hanya dibataskan dua tahun, maka partai politik juga harus bisa melakukan hal itu. Kemudian partai politik harus memperkuat kaderisasi partai politik. Dengan kaderisasi partai politik yang kuat, maka partai politik akan memiliki imunitas atas konflik dan masa hidup yang lama dalam konstelasi politik tanah air.
Penulis: Pandu Wibowo, Peneliti CIDES (Center for Information and Development Studies).