Oleh: Muhammad Mualimin, Kepala Bidang Hukum dan HAM HMI Cabang Jakarta Selatan
Sejak PBB berdiri tahun 1945, para pengisap menjadi agak sungkan menjajah. Sekejam-kejamnya kolonialisasi yang dipraktikkan, mereka tetap punya “kehormatan” yang harus dijaga. Inggris, Amerika Serikat dan Prancis, secara simultan mencari formulasi perbudakan baru, agar terlihat lebih halus, sistematis dan rapi. Maka diciptakan PBB dan badan-badan dibawahnya.
Slogan demi perdamaian dan keamanan global, hanyalah tipuan untuk meyakinkan negara-negara yang baru merdeka agar bergabung dengan organisasi ini. Dengan mekanisme yang dicangkangi Hukum Internasional, perdamaian global telah nyata-nyata gagal. Sejarah membuktikan, telah puluhan kali serangan terkoordinir yang dikomandoi PBB meluluhlantakkan suatu negara. Tidak kurang puluhan juta orang menanggung akibatnya.
PBB hanya topeng, bungkus, badan. Jiwa dan isinya adalah Amerika Serikat, Rusia, Inggris dan Prancis. Amerika Serikat dan Inggris juga hanya sebagai bungkus, kantong, jubah. Isi sebenarnya adalah kapitalis-kapitalis rakus (sebagian besar berdarah Yahudi) yang kekayaannya mampu membeli demokrasi dan sarana election yang ada di United State of America.
Tatanan Internasional pasca Perang Dunia II, memang compang-camping dan serba sensitif. Amerika Serikat dan Inggris yang sedari dulu menjadi sarang kapitalisme global, tidak mau bermain kasar dan terang-terangan. Akhirnya tidak ada jalan lain kecuali menyamar dengan muka “orang lain”. Mereka menggunakan sarana internasional, agar rakyat di suatu negara tidak sadar bila ada penjajahan gaya baru di negaranya.
Menjajah langsung dinilai beresiko, maka diperlukan mekanisme perampokan sumber daya alam suatu bangsa dengan menggunakan “tangan kedua”. Tangan kedua itu berupa badan/lembaga Internasional, rejim bayangan, pemimpin boneka, program pinjaman hingga korporasi yang menyelinap melalui investasi. Iya, investasi yang katanya akan mengangkat harkat martabat suatu bangsa melalui pembangunan ekonomi, dijadikan misi suci rayuan kerjasama ekonomi.
Indonesia telah berkali-kali ditipu dan terperdaya rayuan bantuan ekonomi. Kita mengira World Bank, IMF atau UNDP adalah malaikat penolong, padahal sebenarnya lintah pengisap yang tidak henti-hentinya menggerogoti kedaulatan yang kita bangun. Sejak investasi asing masuk ke Indonesia, sejak itu pula kemerdekaan berkurang dan terus menyusut seiring membesarnya arus modal asing yang membanjiri sektor ekonomi kita.
Penjarahan demi penjarahan berlangsung masif di depan mata, tapi anehnya Pemerintah hanya menonton dan sesekali bertepuk tangan. Perampokan dengan pola rapi diatas makin mapan karena dilegitimasi undang-undang penanaman modal. Lebih mapan dan sistematis lagi, karena dijaga aparat dan direstui para politisi yang sebelumnya telah dibeli jiwanya. Demokrasi yang katanya melahirkan pemimpin dari bawah, telah nyata-nyata sekedar jadi momen pembajakan proses penyerahan kekuasaan dari rakyat ke Pemimpin boneka. Rejim yang berkuasa akhirnya tak lebih dari sekedar badut politik yang sok merakyat, padahal sebenarnya hanya aktor pesanan yang bekerja atas dasar perintah dari pemodal.
Kejam! Mereka mengontrol kekuasaan, sedangkan kita tiap hari dipaksa patuh pada hukum-hukum yang membawa kita pada kemiskinan sistematis dan perbudakan dunia kerja.
Peringatan 17 Agustus
Entah apa yang dipikirkan orang-orang. Dengan gemebyar serentak memasang bendera di sepanjang jalan, bersorak-sorai dalam lomba-lomba, hingga mencat warna merah-putih disana-sini. Seolah dengan itu bangsa ini telah merdeka semerdeka-merdekanya. Merdeka? Tidak! Yang merdeka bukan kita, tapi mereka. Siapa mereka? Tentunya bukan anda atau Presiden, tapi para kapitalis.
Bagaimana mungkin anda bicara kemerdekaan, bila adik-adik kita di Papua mesti melongok sembari memegang perut laparnya melihat emas mereka dibawa lari korporasi asing. Merdeka? Tidakkah kau lihat Menteri-meneteri kita itu telah menjadi wayang yang mabok uang dari pemodal-pemodal. Jangan membual kawan, perkataanmu hanya mimpi disiang bolong. Di sini tidak ada kemerdekaan. Di tanah ini yang mereka menyebutnya Indonesia, tidak ada “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Itu hanya ilusi. Pancasila hanyalah nyanyian penghibur buruh dan petani yang lelah diperas seharian oleh majikannya.
Kata “merdeka” mempunyai tiga pilar prinsip yang tidak boleh kurang satu saja. Yaitu kendali penuh, tanpa campur tangan yang lain, dan tidak bergantung pada pihak selain diri kita. Bila kita sadari sejujur-jujurnya, benarkah tiga prinsip diatas sudah menjadi kenyataan? Bila belum, artinya kemerdekaan yang diperingati lebih dari 70 kali hanyalah palsu semata.
Mereka para pengisap gaya baru, tidak cukup menciptakan rejim boneka yang bisa disetir dan diarahkan. Mereka dengan terencana membidani lahirnya institusi-institusi pendukung seperti institusi agama, pendidikan, hukum, budaya, sosial dan politik yang kesemuanya menghamba pada perbudakan ekonomi ciptaan mereka.
Dana-dana dari penguasa digelontorkan untuk operasional rumah-rumah ibadah beserta kegiatannya, agar bila ada masyarakat yang tercekik oleh kemiskinan dan pemelaratan mengeluh ke Pemuka Agama, hanya diajari bersabar tanpa pernah diberikan solusi konkret atas pemecahan persoalan hidupnya. Bukannya mengajak rakyat menuntut tanggungjawab Pemerintah, Pemuka Agama malah menyodorkan ayat-ayat penghibur yang tidak pernah menyentuh akar persoalan.
Dalam dunia pengajaran, kurikulum-kurikulum pendidikan sengaja diseragamkan, lalu dengan itu menjejali siswa sekolah tentang ajaibnya selembar kertas ijazah sebagai secarik suci kunci keselamatan dunia. Kertas tersebut didewakan, seolah dengan itu kesuksesan dunia dapat digenggam dan direngkuh. Negara memuji habis-habisan peserta didik yang mampu nurut-taat sistem sekolah, sembari mengutuk dan mencap sebusuk-busuk mereka yang tidak patuh. Mereka dicap nakal dan pemberontak, oleh karenanya menjadi termusuhi, terhakimi, terkucilkan dan terasing dari dunia pergaulan sosial.
Dalam konteks kemasyarakatan, rakyat yang telat bayar pajak, lupa membawa SIM di jalan atau tidak mampu membuktikan diri menjadi warga negara yang baik, didenda dan dihakimi dengan hukum yang tegas-menindas. Sedangkan bila Presiden lalai mengangkat orang asing jadi Menteri atau petinggi aparat dengan seragamnya membantu pengedar narkoba menebar pil-pil setan, negara diam saja bak singa patah taringnya.
Sistem kebudayaan lama kita dibiarkan punah, lalu pelan-pelan diganti dengan berhala baru yang disebut matrealisme. Seseorang layak dihormati atau tidak, ditentukan dari seberapa tebal dollar yang dimiliki hari ini. Tolok ukur kemanusiaan seseorang ditentukan dari seberapa mengkilat hiasan yang menempel dibajunya, bukan seberapa teguh kebenaran dijunjung tinggi. Mereka yang compang-camping dan kotor-bau, tidak diakui dan diacuhkan saat meminta pelayanan sosial pada fasilitas negara yang katanya diperuntukkan orang melarat.
Corak perbudakan juga berkembang dilingkungan sosial-politik. Seorang pekerja dipaksa mengikuti segala yang diperintahkan majikan (meski terkadang tidak manusiawi), karena bila tidak, dia terancam dipecat dan mati kelaparan. Upah seringkali telat dibayarkan atau sama sekali tidak diberikan, bila pekerja menuntut haknya, pemodal dan Si Tuan bersembunyi dibalik ketiak aparat yang bersenjata. Akhirnya pekerja tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak mungkin melawan, resikonya bisa di-dor, dan tewas.
Politik percumbuan antara kekuasaan dan kekuatan ekonomi diatas, melahirkan situasi penindasan secara paralel-turun dari kapitalis asing ke kantong-kantong kekuasaan domestik. Lalu dari kapitalis lokal menginjak-menghujam kejam ke buruh ditataran bawah. Pekerja terpaksa berkalang peluh, karena kalau tidak begitu, anak istri mereka tidak makan dan terancam gagal hidup. Maka timbul kesadaran semu “lebih baik diperbudak tapi hidup, daripada merdeka tapi mati kelaparan”.
Karena Pemerintah terlanjur menjadi “istri simpanan” kaum kapitalis, dan negara terlebih dulu berkomplot dengan kaum agamawan dan aparat, maka rakyat jelata sengaja dibuat miskin dan bodoh. Dengan kebodohannya tersebut, masing-masing dari aktor pengisap (Kapitalis, Pemerintah, Agamawan dan Aparat) bisa semaunya menyetubuhi sumber daya ekonomi demi kemapanan yang mereka bangun dan pertahankan.
Mereka para aktor memang merdeka. Perayaan yang digelar di Istana memang cocok, tapi cocok bagi mereka, bukan kita. Sayangnya jumlah mereka hanya satu persen dari total keseluruhan populasi Indonesia. Selebihnya hanya ada rakyat yang miskin, kering, bau, bodoh dan sepanjang tahun kurus-mampus terisap tiada rasa belas kasihan.
Dari kebodohan itulah, mereka mengiming-imingi suara coblosan dengan sekarung beras. Mereka membeli suara kita, lalu menang dan berkuasa untuk sepanjang lima tahun penuh pengisapan. Kita sungguh tak sadar, bila telah masuk perangkap dan menjadi objek penipuan kapitalisme bertopeng demokrasi. Pemilu selalu menjadi pestanya kaum berduit, kita hanya penggenap. Mereka artis demokrasi, sedangkan kita kurcaci-kurcaci penonton kecil yang dihisap sesaat dan bahan onani kekuasaan mereka.
Dari kalangan akar-rumput, jangan berharap seorang dari kita menjadi pemimpin. Sistem demokrasi kita sengaja dirancang dengan biaya tinggi. Hanya mereka yang kaya atau dibiayai pemodal besar yang mampu ikut kontestasi pemilihan. Selebihnya kita menjadi penonton, “butiran debu dipinggir jalan”, “daun kering dipojokkan taman”, “ampas tahu diselokan got penuh tikus”. Kita hanya konstituen bodoh yang menyerahkan suaranya demi lima pulu ribu rupiah, pasca itu kita mesti menjalani hidup lima tahun penuh pembodohan atraksi elit negara dan dagelan politik sampah.
Akhirnya negara yang dipimpin politisi dan dibekingi aparat, tidak lebih bak sarang penyamun yang merampok pendapatan rakyat melalui pajak. Lalu setahun sekali, mereka menggunakan uang kita untuk bersorak meriah memperingati “hari kemerdekaan”. Padahal yang merdeka adalah mereka, dan kita menderita. Jadinya Tujuh Belas Agustus menjadi hari penderitaan, bukan lagi hari kemerdekaan.