Oleh : Dr. Dino Patti Djalal *
Dalam pernyataan awal tahunnya baru-baru ini, Menlu Retno LP Marsudi menyebut tantangan terbesar ASEAN adalah menjaga persatuan dan sentralitas di tengah berbagai gejolak internasional. Saya setuju 100 %. Namun dalam usianya yang sudah setengah abad, saya merasa ada satu lagi tantangan yang lebih penting : bagaimana merakyatkan ASEAN di bumi Indonesia.
Memang, sebagian besar masyarakat Indonesia sudah mengenal istilah ASEAN, tahu kepanjangannya, dan tahu negara-negara anggotanya. Sejarah ASEAN sudah diajarkan di sekolah-sekolah. Sebagian besar masyarakat juga pernah mendengar istilah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Namun kalau ditanya, sejauh mana rakyat mengenal ASEAN, atau bagaimana dampak riil ASEAN terhadap rakyat akar rumput Indonesia, jawabannya akan berbeda.
Lihat saja dari segi ekspor. Walupun Indonesia adalah ekonomi terbesar di ASEAN, kita duduk dalam peringkat nomor 4 sebagai eksportir ke pasar ASEAN, tertinggal di belakang Singapura, Thailand, Malaysia. Di Indonesia, perkiraan kasar saya, hanya 1 % masyarakat yang mengetahui apa itu isi paket MEA. (Tingginya angka ketidak-tahuan terhadap MEA ini sebenarnya juga berlaku di negara-negara ASEAN lainnya, walaupun dalam gradasi yang berbeda). Silahkan cek : masih banyak anggota Kadin (dimana saya menjadi anggotanya), Kadin Daerah maupun HIPMI yang belum begitu paham mengenai pasar ASEAN. Statistik dari Kementerian Perdagangan juga menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil propinsi di Indonesia yang berdagang secara substansial dengan ASEAN, antara lain DKI, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Riau, Sumatra Utara. Saya cukup kaget melihat bahwa beberapa propinsi yang terkenal unggul sebagai produsen produk kerajinan tangan dan kreatif — seperti Yogyakarta, Bali — masih sedikit ekspornya ke ASEAN — itupun umumnya hanya ke Singapura. Dan ada sederetan propinsi yang sama sekali tidak mengekspor ke negara-negara ASEAN tertentu. Disini terlihat sekali bahwa relevansi ASEAN terhadap ekonomi rakyat Indonesia masih relatif kecil.
Mengapa hal ini bisa terjadi ? Jawabannya, karena selama ini memang proses pembentukan dan pembesaran ASEAN berlangsung dari Pemerintah, dan dari atas. ASEAN dibentuk tahun 1967 oleh 5 negarawan — termasuk Adam Malik dari Indonesia. Setelah itu, ASEAN terus berkembang, menjadi 6 dan kemudian 10 negara, menggandeng negara-negara besar sebagai mitra dialog, membentuk AFTA (Kawasan Perdagangan Bebas), dan mendirikan Komunitas ASEAN (termasuk MEA) yang mempunyai Piagam ASEAN sendiri. ASEAN juga tidak lagi menjadi urusan Kementerian Luar Negeri namun melibatkan banyak Kementerian lain — Pertahanan, Ekonomi, Perdagangan, Keuangan, Pertanian, Industri, dan lain-lain. Setiap tahunnya, ada ratusan — bahkan konon lebih dari seribu — pertemuan ASEAN di berbagai bidang. Kita juga bangga melihat ASEAN menjadi salah satu organisasi regional yang paling sukses di dunia
Dalam proses yang memakan waktu 5 dekade ini, ASEAN cenderung menjadi agak elitis. Perjanjian ASEAN yang dirancang birokrat yang piawai kadang tidak nyambung dengan konstituen di lapangan. Seringkali urusan ASEAN dikomunikasikan dalam bahasa yang keren dan teknokratis namun susah dicerna oleh akar rumput. Akibatnya, ASEAN tampil di mata publik sebagai gawean diplomat dan pejabat, padahal ironisnya tema ASEAN di abad-21 adalah “people centered”. Bahkan di beberapa kalangan asosiasi industri nasional, masih ada resistensi yang vokal terhadap MEA karena dipandang merugikan Indonesia. Karena itulah, tahun ini Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) menyelenggarakan sayembara nasional yang mengundang generasi muda untuk menulis esei “bagaimana ASEAN dapat lebih berkontribusi bagi kehidupan sehari-hari rakyat Indonesia”.
Yang juga menjadi masalah, selama ini sosialisasi Pemerintah mengenai ASEAN, terutama MEA, sangat pasif. Kemlu, misalnya, mempunyai anggaran sosialisasi ASEAN beberapa milyar rupiah, namun jujurnya, selusin seminar skala kecil di beberapa kampus tidak akan bisa membuka mata 240 juta rakyat terhadap potensi ASEAN. Saya juga mengamati cukup banyak ASEAN Center yang dibentuk di berbagai kampus Indonesia yang entah mengapa menjadi sepi. Di Jakarta, ada beberapa billboard kecil mengenai ASEAN, namun ada yang ditulis dalam bahasa Inggris (yang tidak dimengerti akar rumput), atau dalam bahasa Indonesia yang terlalu generik (“siap bersaing di MEA”) ketimbang preskriptif (“segera dapatkan sertifkat profesional anda untuk bekerja di pasar ASEAN”). Sampai saat ini, tidak ada “call center” mengenai MEA, tidak ada gugus tugas promosi MEA, dan tidak jelas siapa juru penerang MEA di Pemerintah — apakah Kemlu, Kemdag, BKPM, atau siapa.
Saya mengusulkan agar Pemerintah Jokowi dalam sisa waktu 2,5 tahun ke depan merancang dan melaksanakan suatu program nasional yang masif dan ambisius untuk merakyatkan ASEAN. Program sosialisasi ini perlu dirancang secara kreatif, dengan materi yang baku, dan harus bersifat antar-Kementerian. Program ini harus didukung anggaran yang memadai agar kelak minimal 10 % rakyat Indonesia memahami dan memanfaatkan MEA, minimal 50 % dari propinsi Indonesia berdagang aktif dengan ASEAN, ekspor Indonesia ke ASEAN dapat berlipat-ganda, dan Indonesia dapat unggul di ASEAN di berbagai sektor : investasi, pariwisata, infrastruktur konektifitas, dan lain-lain. Program sosialisasi ini jangan dilihatt sebagai beban anggaran, namun sebagai tanggung-jawab Pemerintah serta peluang investasi dan pemberdayaan ekonomi rakyat ke depan. Dan akan lebih baik lagi apabila strategi pembangunan yang dirancang Bappenas dapat lebih menonjolkan strategi pemanfaatan “ASEAN”.
Dalam 2 tahun terakhir, Pemerintah Jokowi telah membuat keputusan penting untuk bergabung dengan Trans Pacific Partnership (TPP). Saya memandang ini sebagai suatu langkah yang berani. Sayangnya, perjanjian TPP kini sudah diambang ajal karena Amerika Serikat belakangan mengundurkan diri.
Yang ingin saya usulkan, sambil mencari pasar bebas lain, mengapa Indonesia tidak habis-habisan menaklukkan pasar ASEAN yang sudah rampung perjanjiannya, yang jelas ada di depan mata kita, dan secara fisik yang bertetangga dengan kita sehingga lebih murah biaya logistiknya ? Logis kan? Kalau ekspor Indonesia ke pasar ASEAN bisa naik 100 %, saya yakin dampaknya pada pertumbuhan PDB nasional juga akan signifikan.
Di usianya yang setengah abad, kita patut bersyukur dan berterima kasih kepada ASEAN yang telah berhasil merubah peta geopolitik Asia Tenggara dan menjadi payung kerjasama yang memperkokoh stabilitas kawasan. Namun kita juga harus jujur mengakui kelemahannya : ASEAN masih belum jauh merakyat, belum membekas kuat di akar rumput, dan inilah pekerjaan rumah terpenting bagi Pemerintah Indonesia — dan Pemerintah ASEAN lainnya — untuk 50 tahun ke depan.
* Mantan Wakil Menteri Luar Negeri dan kini pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI)