Oleh: Djoko Edhi S Abdurrahman
Ketua ITW (Indonesian Tax Wacht)
Rumah Miskin Nol DP Sandiaga Uno sudah benar. Saya kira bisa feasible mengkaji desainnya. Ide itu malah jitu untuk mengentaskan urban poor yang kian terdesak oleh kaum modal dan ancaman penggusuran.
Memang tak bisa mengomentari business plan tanpa membaca angkanya. Dan business plan tak boleh terbuka semua. Itu dapur. Terbukanya, ya, nanti pada presentasi executive summary. Itu pun tak semua. Sebagian kunci tetap menjadi rahasia agar tak dibajak dengan mudah oleh pihak lain, terutama kompetitor.
Saya saksikan presentasi Sandiaga Uno, tampaknya sudah dihitung dalam bentuk schema keuangan. Ya, sangat bisa Nol DP. Misal, jika ada subsidi awal atau penjamin dalam bentuk instrumen liquid tersendiri. Angka DP (dont payment) itu bisa dimasukkan ke municipal bond yang tersedia di BI jika mau mudah. Selesai. Atau pemerintah menyediakan risk sharing, adalah cara terlazim
Jika berani, bikin saja semacam Subprime Mortgage Backed Securities (MBS) yang membangkrutkan Amerika Serikat 2008. Penyelenggaranya Lehman Brothers ikut gulung tikar karena Pemerintah Obama tak bersedia menerbitkan bailout.
Tak berarti tak ada pelajaran penting dari kasus Subprime Mortgage. Prakteknya, utang perumahan itu dijual, dalam berbagai bentuk saham, colateral utang, beranak pinak. Jadi, rumah orang miskin itu tinggal membinding dengan colateral lain yang mid – high. Jual!
Yang dikemukakan Gubernur BI Agus Martowardoyo Rumah Tanpa DP dilarang adalah aturan organik ekonomi makro dan moneter untuk pembiayaan multiyears Rumah Miskin Nol DP. Aneh, giliran multiyears Hambalang boleh, padahal tak ada cash-in nya di luar penerimaan dari APBN.
Sscara prudensial, jelas ada beban bagi perbankan karena cashflownya 30 tahun. Padahal perbankan hanya bersedia paling lama 15 tahun. Sejak problem NPL IRR, hingga BEP. Tentu jika mekanisme perbankan cara konvensional. Harus ada metode khusus yang memungkinkan cashflow 30 tahun. Disilang!. JIka disilang, hilang pengaruh debt riskmya. Sebab, total expenditure dan investasi rumah miskin itu sangat kecil dibanding volume arus uang Pemda DKI Jakarta. Kalau mekanismenya menggunakan pasar modal, tak ada pengaruhnya ke ekonomi makro dan perbankan. Tak mempengaruhi NPL etcera.
Hanya di mana-mana di atas bumi ini, yang namanya penanggulangan orang miskin (development trap) selalu menggunakan risk sharing. Pada masa Dewan Moneter Orba juga risk sharing. Sskarang malah pol ekonomi pasar. Yang kuat berkompetisi dengan yang lemah.
Secara Neo Classic, lalu Neo Keynes, juga begitu. Meski mereka berbeda paradigma liberalnya, tapi keduanya sepakat, di samping proteksi terhadap kebebasan hukum pasar, adalah proteksi terhadap orang miskin. Sebab, penanggulangan korban kapitalisme harus ditanggulangi oleh system kapitalisme itu sendiri. Yaitu, mereka yang dimiskinkan oleh pembangunan. Rumah Miskin Nol DP itu bagian penting pengentasan orang miskin kota (urban poor).
Dulu yang getol pengentasan urban poor ini ialah Prof Mubiyarto bersama UGM nya. Sekarang siapa ya? Tak ada! Padahal ukuran suksesnya pembangunan yang utama adalah tingkat kemiskinan. Terorisme dan Narkoba ada badan yang mengurus, orang miskin malah tak ada. Orde Baru punya badan pengentasan kemiskinan.
Secara teknik keuangan, tak sulit membuat DP itu Nol. ADB dan UNDP niscaya sangat berminat menanggulanginya dengan soft loan tenor 30 tahun mereka. Orde Baru banyak begitu. Bahkan neraca keuangan negara disubsidi dengan tenor panjang.
Contoh soal. Para strukturalisme menetapkan I =:S. I adalah investasi yaitu pembangunan, sedang S adalah savings alias tabungan.
Menurut mazhab strukturalisme, S = I tak bisa ditawar. Kalau mau membangun harus ada duitnya dulu untuk membiayai pembangunan itu. Jadi ngumpulin duit dulu atau menabung. Setelah terkumpul, baru membangun.
Bertemulah Presiden Soeharto dengan Bank Dunia (WB), Dana Monetary International (IMF) dan IGGI di awal Repelita. Yaitu tadi, IMF mengemukakan rumus Irving Fisher itu. I dan S harus sama. Ringkasmya menurut dalil Neo Classic II itu, kalau mau membangun, menabung dulu. Pembangunan yang mampu dibangun adalah sebesar savingsnya.
Jawaban Presiden Soeharto, “Jangankan tabungan, banknya saja kami tak punya”, katanya. “Kalau begitu dalilnya, kapan kami baru bisa membangun? Saudara ahlinya, tolong dipecahkan”.
Dari situ dikemukakan model neraca Anggaran Berimbang Dinamis yang menyimpang dari pakem akuntansi. Utang jangka panjang (soft loan) dimasukkan ke modal. Sampai tahun 1985, IGGI bertugas mencari soft loan bertenor 30 tahun.
Apa bedanya dengan masalah rumah miskin itu? Sama persis toh. Pengelolaan pembangunan dewasa ini, tingkat kesulitannya tak ada apa-apanya dibanding tingkat kesulitan Repelita I dan II. Tapi masih juga amburadul.
Dengan kata lain, semua ada, laksana pisang bakubak. Makanya sulit menerima alasan adanya kegagalan pembangunan oleh rezim yang berkali lipat rajinnya berutang hingga dua ribu triliun rupiah tiap tahun, tapi cuma mampu mengurangi 250 ribu orang miskin.
Kembali ke program Rumah Miskin Nol DP tadi, bagi perencana keuangan sih mudah. Faktor determinasinya adalah goodwill pemerintah yang berpihak kepada kaum miskin.
Bikin ala Rockefeller Foundation (1965 -1970) yang nyaris bangkrut mengurusi program “Standar Hidup Orang Amerika”. Data empirisnya bagus karena program Repelita adalah bikinan Rockefeller Foundation, pemilik Universitas Harvard.
Ala Lehman Brothers, sangat bisa sepanjang pemerintahnya mau. Atau lebih ekstrim, numpang di margin trading seperti di Shanghai. Itu semua tanpa melibatkan duit APBD/APBN.