Oleh: Prijanto Soemantri, Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta
SuaraJakarta.co, OPINI – Gubernur Ahok boleh merasa kuasa dan leluasa mengumpat menumpahkan kekesalannya, ketika BPK RI selesai menyerahkan LHP BPK RI terkait laporan keuangan Pemprov DKI Jakarta tahun 2014. Pasalnya banyak indikasi kerugian keuangan daerah. Kasus yang paling menonjol, pembelian tanah RS Sumber Waras (RSSW) yang melibatkan dirinya ketika menjadi Plt Gubernur.
Umpatan dan cacian Gubernur Ahok terhadap anggota BPK RI tidak tanggung-tanggung. Dirinya merasa tidak bersalah sehingga menimbulkan kerugian negara. Bahkan dirinya balik menuduh sejauhmana kebersihan para pegawai BPK RI. Ahok memang hebat membangun opini bahwa dirinya bersih, anti korupsi. Ahok menantang BPK RI.
Apapun yang dilakukan Ahok dengan timnya, tidak bisa melawan legalitas institusi. BPK RI adalah lembaga negara yang memiliki kedudukan dan hak untuk memeriksa. Jika tidak ada perubahan, Senen, 23 November 2015, tim investigasi BPK RI akan memeriksa Ahok. Tim investigasi mengundang Ahok untuk diperiksa dimintai keterangan. Ahok adalah puncak pemeriksaan setelah para pejabat DKI yang terkait sudah diperiksa.
Sejak LHP BPK RI disampaikan kepada DPRD DKI sampai dengan saat ini, kasus dugaan korupsi RSSW menjadi berita hangat. Para aktivis anti korupsi, sangatlah geram. Secara perorangan ataupun organisasi, melaporkan keterlibatan Ahok ke Bareskrim Mabes Polri atau KPK RI. Uniknya, ada organisasi dengan label anti korupsi justru tidak peka terhadap kasus ini. Bahkan terkesan membenarkan proses pembelian tanah RSSW oleh Pemprov DKI.
Keunikan lain, rencana pemeriksaan Ahok di BPK RI oleh media diberi judul datar-datar saja. “Ahok akan menjelaskan kasus RSSW di BPK RI”. Padahal, jika Ahok dipanggil tim investigasi BPK RI untuk diperiksa, tentu judul yang pas “Ahok Diperiksa BPK RI”. Tantangan Ahok kepada tim investigasi untuk memeriksa dirinya, akhirnya terpenuhi juga.
Kita bisa melakukan konstruksi BAP secara imajiner. Tim investigasi tentu bertanya, apakah Gubernur faham tentang UU No 19/2012, Perpres No 71/2012 dan Permendagri No 13/2006 ? Pertanyaan aturan perundang-undangan tersebut, untuk mengetahui apakah Gubernur Ahok melakukan atau tidak melakukan perbuatan melawan hukum (PMH).
Menilik hasil LHP BPK RI 2014, patut diduga kuat ada perbuatan melawan hukumnya. Pembelian tanah RSSW tidak disertai dokumen perencanaan, studi kelayakaan, konsultasi publik, berita acara kesepakatan dengan masyarakat, usulan dinas terkait dan tidak adanya tim pelaksana pengadaan tanah, sebagaimana yang diatur dalam aturan perundang-undangan.
Disposisi Ahok kepada Ka Bappeda pada 8 Juli 2014 pada surat penawaran Ketum YKSW 7 Juli 2014, menunjukkan keterlibatan Ahok secara langsung. Perintah anggarakan kepada Ka Bappeda untuk dianggarkan dalam APBD-Perubahan juga melanggar Permendagri No 13/2006.
Keputusan Ahok untuk membeli dan dianggarkan dalam APBD-P, serta dibayar pada 31 Desember 2014, memiliki catatan ketidaklaziman dalam pembelian tanah. Tanah yang dibeli masih dalam perikatan jual beli dengan pihak ketiga. Di samping itu, tanah masih menunggak kewajiban bayar PBB Rp. 6 M lebih dan di atas tanah masih berdiri bangunan aktif sebanyak 15 bangunan.
Belum lagi persetujuan Ahok atas harga yang ditawarkan YKSW melebihi batas kepatutan. Dari perspektif selisih harga yang dibayar Pemprov DKI dengan harga PT CKU kerugian Rp.191.334.550.000,00. Dari perspektif NJOP, kerugian ditaksir Rp.484.617.100.000,00. Kasus ini jelas ada perbuatan melawan hukumnya, ada kerugian negaranya dan ada pihak yang diuntungkan. Dengan demikian kasus ini memenuhi unsur sebagai Tipikor.
Sampai batas yang ditentukan, konon Gubernur tidak melaksanakan rekomendasi dari BPK, untuk membatalkan pembelian. Padahal berdasarkan UU No 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, pasal 20 dan 26, pelanggaran tersebut bisa dipidana, dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan.
Masyarakat sangat percaya kepada para auditor muda BPK RI yang bekerja secara profesional dan tidak mudah terkooptasi. Para auditor muda BPK RI sebagai pilar penegakan hukum di Indonesia, sadar bahwa hasil kerja tim ditunggu masyarakat. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum saat ini, kiranya bisa terobati oleh karakter dan profesionalisme para auditor muda BPK RI sebagai generasi pengganti. Semoga.