Oleh: Pandu Wibowo
Pers berperan penting dalam proses penciptaan karakter masyarakat dan mengembangkan wawasan kebangsaan. Di dalam UU Pers No 40 Tahun 1999, Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Pers Indonesia dimulai saat dibentuknya kantor berita ANTARA yang didirikan tanggal 13 Desember 1937 sebagai kantor berita perjuangan dalam rangka perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia, yang mencapai puncaknya dengan proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Saat rezim Orde Lama, pers juga berperan penting dalam proeses pembangunan opini rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ketika pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru, pers terkekang, suara rakyat juga terbungkam, dan pemerintah seolah anti kritik. Namun setelah tumbangnya Orde Baru, menjadi titik balik bagi dunia pers Indonesia untuk berekspresi di era Reformasi.
Kebebasan berpendapat di era Reformasi tentu menjadi peluang pers untuk menjadi penyambung lidah rakyat dalam mengawasi kinerja pemerintah. Pers di era Reformasi seolah menjadi salah satu kekuatan politik di Indonesia, karena dapat mempengaruhi pemikiran serta memobilisasi masa dalam proses tindakan-tindakan politik. Tentu ada dampak positif dan negatif ketika pers sampai memiliki kekuatan seperti ini. Positifnya, dunia politik Indonesia dapat terbantu lebih transparan dan terbuka, sehingga rakyat Indonesia dapat menyaksikan kinerja para pemimpin publiknya. Negatifnya, terkadang pers dijadikan alat politik untuk meyerang lawan politik, sehingga dapat menciptakan devided (pembelahan) di sosial masyarakat.
Pers dan Politik
Fakta membuktikan, bahwa sekarang banyak politisi yang memiliki media masa untuk dijadikan ladang bisnisnya, sekaligus senjata politiknya. Efek dari kapitalisasi pers oleh para politisi ini adalah, info yang diberikan ke publik tidak utuh, bahkan berat sebelah. Contoh kasus yang dapat kita jadikan referensi adalah ketika Pemilu Presiden RI 2014 kemarin. Dalam Quick Count yang diadakan oleh per-televisian Indonesia bekerja sama dengan lembaga survey, menghasilkan hasil yang berbeda-beda. TV A memberikan hasil Quick Count, pasangan Prabowo-Hatta menang, sedangkan TV B memberikan hasil bahwa pasangan Jokowi-JK lah yang memenangkan Pilpres. Efek dari penyebaran informasi seperti ini yang menyebabkan konflik sosial di taratan masyarakat, terutama pendukung pasangan Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK. Padahal seharusnya pers dapat menyatukan opini masyarakat untuk menciptakan iklim demokrasi yang sehat dan berkemajuan.
Di dalam studi komunikasi politik, teori jarum suntik politik menjelaskan bahwa ketika pers memberikan berita secara terus menerus kepada masyarakat, maka akan ada perubahan mindset (pola pikir) masyarakat. Oleh karena itu, adanya persatuan pandangan dan perbedaan pandangan ditentukan oleh peran pers dalam memberikan informasi. Harus ada profesionalisme dari seluruh aktor politik Indonesia dalam pemakaian pers. Kapitalisasi pers secara politik harus segera dihilangkan, guna pembangunan demokrasi yang sehat dan maju. Pers seyogianya bukan alat politik, melainkan alat pemberi informasi kepada masyarakat agar masyarakat mendapatkan pendidikan politik yang baik, juga mengetahui perkembangan pembangunan bangsanya. Jangan sampai ada paradoks demorkasi, dimana fungsi partai politik sebagai pengatur konflik berubah menjadi pencipta konflik karena kapitalisasi pers secara politik.
Penulis: Peneliti CIDES Indonesia dan Staf Ahli Kementerian PPN/Bappenas