Oleh Dwi Hartanto Lucas
Kelima, jika peristiwa maraknya begal motor ini bertujuan untuk menghadirkan teror sosial ditengah masyarakat lapisan bawah, lalu pertanyaan kritisnya apakah tujuan utama dibalik semua peristiwa ini? apakah mungkin wacana “histeria” kriminal sadis ini dimunculkan dikalangan rakyat banyak, untuk menegasikan atau mengalihkan persoalan sebenanrnya dari realitas konstelasi elite politik paska Pemilu 2014, yaitu “Penjarahan” besar-besaran sumber daya ekonomi dalam arena politik transaksional, Konsolidasi elite-elite politik dan kekuatan Modal di lapisan atas. Sehingga untuk mengalihkan perhatian masyarakat banyak dilapisan menengah kebawah, maka pola-pola wacana histeria teror begal motor ini dihadirkan secara masif dan terus-menerus, dieksploitasi sedemikian rupa secara dramatis dan terus-menerus dilapisan bawah, hingga memiliki kekuatan Teror sosial secara luas, dimana terjadi pengalihan kontradisksi antara rakyat lapisan bawah VS rakyat lapisan bawah yang lain, tapi bukan sebaliknya bagaimana isyu-isyu kesejahteraan dan kemakmuran kongkrit bagi rakyat dalam kehidupan seharai-hari mengisi ruang-ruang wacana publik hari ini.
Keenam, dalam tinjauan teori sosiologi kritis diatas, sangat memungkinkan bahwa wacana teror sosial ini adalah untuk juga membangun sebuah Kepalsuan dan membius, dimana unconcius atau ketidak sadaran massa rakyat dari lapisan bawah inilah yang dipisahkan dari realitas sosial sehari-hari, yang berlangsung paska Pilpres. Tidak tertutup kemungkinan bahwa cara-cara ini dilakukan untuk menyapu bersih ingatan kolektif orang banyak, akan janji-janji kesejahteraan, keadilan, kemakmuran bersama pada saat momentum Pemuli beberapa waktu yang lalu, dan kembali menenggelamkan janji-jani Pemilu yang secara gencar dan terus-menerus meng-eksploitasi simbol-simbol Populisme semu.
Terakhir, sementara ditengah riuh-rendahnya wacana tentang Polri VS KPK, Ahok VS DPRD dan isyu begal motor ini. Menjadi menarik jika kita coba sedikit mengutip Pernyataan Sikap Masyarakat Sipil Indonesia, Membangun Gagasan Alternatif : “Kekuatan Rakyat, Kedaulatan Negara, dan Solidaritas Ekonomi” :
Kondisi rakyat Indonesia dilapisan bawah justru sedang terjadi percepatan ketimpangan selama sepuluh tahun terakhir, dimana pada tahun 2013 angka rasio gini mencapai 0,41. Sebuah angka tertinggi sepanjang sejarah Indonesia. Ini menunjukkan, pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh segelintir orang saja bukan untuk semua. Oleh karena itu, diharapkan Presiden Jokowi memberikan perhatian terkait dengan masalah tersebut bukan hanya sekedar membangun infrastruktur tetapi mendorong sistem ekonomi yang sanggup mengurangi ketimpangan dengan memberi kesempatan yang lebih besar masyarakat ekonomi lemah”.
Selain itu rencana Masterplan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dimasa pemerintahan SBY yang diperkirakan menyerap investasi sebesar US$ 4934,8 atau setara dengan 4.632 proyek infrastruktur. Era Jokowi-JK, melanjutkan program MP3I dimana pembangunan infrastruktur dituangkan ke dalam Visi dan Misi Poros Maritim. Bahkan kerjasama pembangunan infrastruktur Maritim di kawasan telah diinisiasi antara Indonesia dan China melalui skema Jalur Sutranya. Hal ini telah dituangkan dalam RPJMN 2015-2019. Berlakunya pasar bebas, khususnya MEA yang akan dihadapi Indonesia, akan semakin mendorong rakyat kecil masuk pada mekanisme pasar dan berhadapan langsung dengan pebisnis raksasa tanpa adanya perlindungan dari negara. Namun, sebaliknya perlindungan negara terhadap korporasi semakin tinggi ditengah kompetisi bebas ini. Hal ini menimbulkan ketidakadilan terhadap rakyat yang selama ini jauh dari perlindungan negara. [6] (Bersambung Bag.4)