LHP BPK dan Indikasi Korupsi : Pembelian Tanah RS Sumber Waras oleh Pemprov DKI (1)

Oleh: Prijanto Soemantri, Pengamat Masalah-Masalah di Pemprov DKI dan Mantan Wagub DKI Jakarta

SuaraJakarta.co, OPINI – Dengan disampaikannya Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemprov DKI Jakarta tahun 2014 oleh BPK Perwakilan DKI di Sidang Paripurna DPRD DKI, berarti kondisi keuangan Pemprov DKI Jakarta sudah bukan rahasia lagi. Kondisi keuangan dengan predikat Opini Wajar Dengan Pengecualian sudah menjadi milik publik.

Salah satu temuan yang berindikasi terjadinya kerugian negara, yaitu pembelian tanah RS Sumber Waras (RS SW). Maksud penulisan, sebagai informasi bagi masyarakat yang belum membaca LHP BPK. Dengan demikian masyarakat bisa menilai, benarkah ada indikasi korupsi seperti ditulis di media.

BPK menemukan adanya indikasi ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan. Nilainya sungguh fantastis dan antagonistis. Mengapa? Sebab, ketika Gubernur dikritisi masalah serapan APBD, Ahok mengatakan serapan anggaran rendah tidak masalah, dari pada dikorup dan untuk mengamankan uang rakyat. Tetapi nyatanya temuan BPK dalam pemeriksaan keuangan tahun 2014 sungguh tidak sejalan dengan alasan yang disampaikan.

Ada 38 temuan senilai Rp. 2.162.430.175.391 terdiri indikasi kerugian daerah Rp. 442.369.697.093, potensi kerugian daerah Rp.1.713.318.786.699, kekurangan penerimaan Rp.3.232.247.040, administrasi Rp. 469.507.016 dan pemborosan 3.039.937.543. Inikah yang disebut tidak dikorup atau mengamankan uang rakyat oleh Ahok?

Temuan BPK memang belum final. Pemprov DKI masih diberikan waktu untuk menjawabnya. Pemprov DKI bisa menjelaskan apakah benar temuan atau tuduhan tersebut. Jika jawaban pemprov DKI tidak memadai, BPK bisa melakukan proses Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) bahkan tidak menutup kemungkinan BPK bersama KPK pun bergerak.

BPK menemukan indikasi adanya kerugian keuangan daerah Rp. 191.334.550.000 dalam pembelian tanah RS SW. Kerugian tersebut diurai dari sisi prosedur dan aturan perundang-undangan, kelayakan tanah yang dibeli, efektivitas pembelian yang berindikasi pemborosan, dan nilai NJOP yang digunakan.

Proses pembelian tanah dinilai BPK tidak sesuai dengan aturan perundangan-undangan yang terkait. Namun, Gubernur membantah, sudah sesuai prosedur. Sudah ada dalam KUA PPAS-P tahun 2014, dan Dewan menyetujui. Tentu yang dimaksud BPK bukan sudah ada atau tidak adanya dalam KUA PPAS. Tetapi prosedur sebelum program pembelian tanah tersebut masuk dalam KUA PPAS itulah yang menjadi pokok masalah.

KUA atau Kebijakan Umum Anggaran dan PPAS atau Plafon Prioritas Anggaran Sementara adalah pedoman untuk menyusun RAPBD. Rencana program yang masuk dalam KUA PPAS harus bisa dipertanggungjawabkan apakah sudah melalui perencanaan dan kajian sesuai Perpres No 71/2012. Di sinilah BPK tampaknya menemukan adanya aturan perundangan yang dilangar.

BPK menemukan disposisi, yang berarti perintah Plt Gubernur Ahok kepada Ka Bappeda DKI pada surat penawaran RS SW, untuk menganggarkan pembelian tanah RS SW senilai Rp. 755.689.550.000 dalam APBD-P 20014. BPK menilai disposisi tersebut tidak sesuai Permendagri 13/2006. Sebab perubahan APBD (APBD-P) hanya bisa terjadi dalam 4 situasi.

Dalam konteks pembelian tanah RS SW, alasan yang paling mungkin jika menggunakan alasan situasi keadaan darurat atau keadaan luar biasa. Tetapi, BPK tidak menemukan dokumen perencanaan, studi kelayakan dan hasil penelitian atau kajian yang menunjukkan bahwa pembelian tanah RS SW tersebut darurat dan mendesak. Tidak ada kajian yang menggambarkan masyarakat Jakarta akan rugi besar jika tidak segera dilaksanakan.

Tanah tersebut direncanakan untuk RS Khusus Jantung dan Kanker. Jangankan BPK, masyarakat juga bisa bertanya, benarkah rumah sakit tersebut masuk katagori darurat dan keadaan luar biasa untuk Jakarta saat ini? Dibanding kebutuhan masyarakat yang belum tersentuh program, tentu jawabannya tidak mendesak.

Darurat dan mendesak bisa diperdebatkan. Karena tidak ada kajiannya, jika ada jawaban pembelian tersebut darurat dan mendesak tentu jawaban tersebut lemah. Perintah Plt Gubernur Ahok untuk anggarkan, dinilai BPK adanya ketidakpatuhan terhadap aturan. Ketidakpatuhan terhadap UU Nomor 2/2012 tentang Pengadaan Tanah, Perpres Nomor 71/2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah dan Permendagri Nomor 13/2006.

Sesungguhnya, masyarakat mengharapkan adanya penjelasan alasan penganggaran di APBD-P 2014 oleh Gubernur. Tanpa kejelasan mengapa tidak ada kajian dan harus diadakan di APBD-P 2014, mengapa harga tidak diteliti dan ditawar, mengapa pembayaran pada 31 Desember 2014 dengan cara tidak lazim, maka spekulasi masyarakat atas keterlibatan Gubernur yang mencuat di media menjadi mengental.

Kasus ini membuat DPRD punya “mainan” baru. DPRD DKI bikin gaduh perpolitikan dengan membentuk Pansus. Bisa diduga temuan tidak bergeser dengan temuan BPK. LHP BPK cukup gamblang, ada indikasi ketidakpatuhan terhadap aturan perundang-undangan yang berakibat adanya kerugian keuangan daerah.

Persolannya, akankah hasil Pansus berujung seperti hak Angket ketika Ahok berjalan sendiri ajukan RAPBD 2015 ke Mendagri? Masyarakat anti korupsi tidak perlu bersandar kepada Pansus DPRD DKI. BPK sudah bergerak lagi ke Balaikota pada 13 Agustus 2015 dan akan bekerja secara profesional.

Related Articles

Latest Articles