Oleh : Muhammad Mualimin, Ketua HMI Komisariat Al Azhar, Anggota Perkumpulan silat ‘’PSHT’’, Penulis Muda FLP Jakarta
SuaraJakarta.co, OPINI – Dari zaman fir’aun di Mesir hingga era mobil terbang seperti sekarang ini, hukum identik sebagai produk politik dan alat yang efektif untuk melindungi kepentingan sang penguasa. Akhir-akhir ini media massa sibuk memberitakan polemik sengit mengenai wacana revisi Undang-undang KPK yang berpotensi menumpulkan “taji” lembaga penumpas koruptor tersebut.
Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang KPK jelas menjadi ‘’oase’’ ditengah gurun KKN yang mengeringkan upaya pemakmuran kehidupan rakyat. Dilengkapi dengan kewenangan yang besar dalam pemberantasan korupsi, KPK telah menjelma menjadi pahlawan dibidang pemberantasan ‘’tikus-tikus’’ uang rakyat.
Inisiatif orang-orang yang dekat dengan penguasa, entah itu dari fraksi PDI-P beserta koalisisnya atau jajaran kroni-kroni penguasa terhadap revisi UU KPK adalah suatu keblunderan yang mudah ditebak. Tentu kita tidak memutlakkan UU KPK sehingga menolak begitu saja setiap kali ada perubahan isinya. Yang menggelitik hati kita adalah apa sebenarnya motif usulan revisi tersebut? mengingat pengusul revisi adalah orang-orang dari partai penguasa, maka jelas ada motif dan unsur politik yang tersembunyi didalamnya.
Selama ini KPK sebagai penegak hukum yang memiliki kewenangan superpower adalah sumber harapan rakyat. KPK digambarkan sebagai lembaga super karena ia memiliki gabungan kekuatan dalam satu tubuh. Yaitu kekuatan menangkap-menyidik yang lazim dimiliki Kepolisian dan kewenangan menuntut-mengadili yang dimiliki Kejaksaan dan Pengadilan.
Berdasarkan survei Indo Barometer, ternyata KPK menempati posisi teratas sebagai lembaga negara yang mendapat kepercayaan tertinggi dimata rakyat. Dengan perolehan survei sebanyak 82%, posisi KPK dihati rakyat lebih tinggi ketimbang kepercayaan rakyat terhadap Presidennya sendiri. Ini jelas kabar yang sangat menggembirakan bagi kita.
Bicara KPK adalah tentang harapan penyelamatan uang rakyat ditengah serigala-serigala pejabat rakus pemangsa uang rakyat. Usulan pengurangan kewenangan penuntutan oleh KPK, penghilangan pasal-pasal ampuh hingga batasan umur eksistensi KPK cuma sampai 12 tahun adalah ide ngawur yang menyesatkan. Namanya juga lembaga Ad Hoc, pasti keberadaan lembaga ini (KPK) berawal dari ketidakberesan lembaga-lembaga yang ada sebelumnya dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya.
Jika menilik sejarah pembentukannya, lahirnya KPK dilatarbelakangi ketidaksuksesan reformasi ditubuh Kepolisian dan Kejaksaan. Kedua lembaga ini gagal menjadi penegak hukum yang bersih sehingga bukannya menangkap dan menghukum maling uang negara, mereka (Kejaksaan dan Kepolisian) malah menjadi aparat yang harus menangkapi dirinya sendiri. Ibarat ‘’lha wong yang menjadi maling si petugas penangkap maling’’. Tentu malingnya bukan dalam bentuk lembaga, tapi oknum perorangan yang jumlahnya tidak sedikit.
Konsepsi lembaga Ad Hoc tentu mengacu pada bagaimana suatu objek masalah itu terbereskan atau belum. Karena KPK lahir dari ketidakbecusan penanganan korupsi yang awalnya ditangani oleh Kepolisian dan Kejaksaan, maka selama negara ini masih ada koruptor, harusnya selama itu pula KPK harus tetap ada. Artinya KPK boleh saja bubar kalau pemerintah sudah mampu membuktikan tidak ada seper rupiah pun uang rakyat yang masuk ke kantong pejabat secara melawan hukum. Oleh karena itu keberadaan KPK adalah wajib. KPK harus dijamin mempunyai kewenangan spesial dan super melebihi kedua lembaga sejenis sebelumnya (Kepolisian dan Kejaksaan).
Selama ini tidak ada yang salah atau cukup alasan untuk merevisi bunyi pasal-pasal dalam UU KPK. Kewenangan dan fungsi KPK sudah cukup ideal bagi semangat pemberantasan korupsi. Patut dicatat baik-baik, bahwa pengusul dan pendukung revisi UU KPK adalah golongan orang-orang yang ‘’tidak nyaman’’ dengan lembaga pemburu tikus-tikus birokrat ini. Ide diatas terkesan sebagai celah agenda politik terstruktur yang arahnya menuju pelemahan KPK. Jika itu berhasil, tentu akan sangat menguntungkan partai maupun pihak-pihak yang berada dibarisan penguasa.
Logikanya jika KPK lemah dan mandul, maka barisan penguasa mempunyai sedikit ancaman bila anggota dari barisan mereka melakukan tindakan-tindakan yang mengarah pada perampokan uang negara. Baik itu tindakan semisal korupsi, suap, kolusi, penyelewengan kewenangan hingga permainan politik anggaran ditubuh DPR itu sendiri.
Artinya revisi UU KPK bukan lagi soal program legislasi nasional yang dicanangkan DPR. Ini bukan lagi mengenai agenda rutin legislator dalam memproduksi UU baru, tapi ini agenda menjijikkan yang berpotensi besar menyuburkan penggerogotan uang rakyat. Jika mengacu pada teori hukum pembentukan undang-undang, perubahan suatu hukum yang sudah ideal berdasarkan uji akademik akan menjadi suatu perbuatan yang sia-sia dan mencurigakan. Karena letak persoalannya bukan lagi pada bunyi Undang-undangnya, melainkan pada aspek pelaksanaannya. Jadi jangan utak-atik pasalnya, tapi pertegas penegakannya.
Jika persoalan inti bukan pada UU KPK-nya, lantas mengapa masih saja ada usulan mengenai revisi UU KPK? Ini logika sehat yang hingga detik ini tidak pernah dicerna dengan baik oleh legislator kita. Harusnya ramai-ramai DPR berteriak menasihati Presiden dan bertanya, sudahkah Pak Jokowi bilang ‘’Wahai KPK, jangan takut!, buru dan berantaslah koruptor-koruptor jahat di negara ini. Siapapun orangnya tangkap dan adili, aku berdiri dibelakang melindungimu’’. Bukan malah berkoar bersama kroni – kroninya ‘’wahai KPK, kewenanganmu terlalu besar dan kuat, kami merasa tidak nyaman dan terancam, maka terpaksa kami akan mereduksi kekuatanmu. Kami akan ‘’memperkosa’’ kewenanganmu!’’.