SuaraJakarta.co, OPINI – Dalam catatan sejarah, beberapa orang yang dibesarkan bergelimang “darah dan lumpur” kemiskinan, dalam akhir perjuangannya menikmati kue kesuksesan yang manis. Tokoh-tokoh besar tersebut tersebar dalam beberapa bidang, mulai dari pengusaha, politisi, pendidik hingga pendiri agama. Semua dicatat dengan tinta emas oleh orang-orang yang hormat pada perjuangan manusia gigih tersebut.
Didunia politik, banyak pemimpin dunia yang besar dari “melawan” dan meraih kemenangan besar. Kebenaran pemberontakan mereka membebaskan rakyat dari belenggu thogut diapresiasi oleh seluruh jiwa rakyat. Tetapi dari dulu penyakit pemimpin selalu sama, “sukses membebas sukses menindas. Pahlawan kebebasan seringkali berubah menjadi dewa tiran yang kejam dan diperbudak ego”. Lihat saja sederet nama pemimpin negara sekelas Kim Il Sung, Joseph Stalin, Mao Zedong, atau hingga hari ini yang masih menjadi penguasa seperti Robert Mugabe atau anak-cucu Raja Arab Saudi.
Dalam kasus negara Zimbabwe misalnya, Robert Mugabe yang dilahirkan dari rahim kejelataan. Dibesarkan bersama kesusahan rakyat pun kini telah berubah 180 derajat. Mugabe atas dukungan rakyat, berjuang menegakkan demokrasi, melawan politik rasisme kulit putih, mendobrak penindasan dan bercita-cita membangun Zimbabwe yang modern pun gagal. Bukan karena Inggris selaku penjajah yang menghalangi. Bukan pula karena kurangnya dukungan rakyat, dia gagal justru karena dirinya sendiri (ego, ke-aku-an). Perjuangannya berhasil saat ia berusia 56 tahun (Zimbabwe merdeka tahun 1980). Tapi ketika dia merasakan nikmatnya “kursi kekuasaan”, manusia pembebas ini malah menjadi tirani yang berpaham “majikanisme”. Awalnya pelayan kini minta dilayani rakyat.
Di jaman yang serba dipenuhi kecambah intelektualisme seperti sekarang ini, arogansi dan tirani terang-terangan suatu pemerintahan adalah gaya politik yang “bodoh”. Tirani atau otoritarianisme sebagai gaya pemerintahan adalah produk terakhir abad XX. Di tahun 2015 ini, tren-nya sudah bergeser ke arah yang lebih “cerdas”. Kalau pemimpin abad IX dan XX memberlakukan sentrisme dan politik totalitarianisme, itu maklum karena gaya politik mereka masih “bodoh”. Gejala hari ini, di era yang serba demokrasi ini ide-ide majikanisme juga “diinovasi” sedemikian rupa sehingga “terlihat” pas dalam sistem yang demokratis. Sekarang yang harus diwaspadai adalah bagaimana suatu pimpinan melakukan manuver politik yang tidak terlihat, memecah-belah pihak oposisi, menjadi “pelaku” tapi seolah terlihat bukan pelaku dan yang jelas pemimpin itulah tujuan muara akhir dari keuntungan politik yang sengaja diciptakan.
Dalam kasus kemenangan Mohammad Moursi di Mesir yang “katanya” merupakan pemilu paling demokrasi dinegeri itu. Manuver politik Ikhwanul Muslimin gagal total karena pengamanan kekuasaan lewat jalur nepotisme diperagakan dengan akting yang buruk. Permainannya masih “okol” dan kurang cantik. Kalau ingin mempreteli kekuatan oposisi, contohlah gaya Vladimir Putin. “gunakan temanmu untuk menghabisi musuhmu!. Ketika musuh membalas dendam, maka ceraikan persahabatanmu. Maka yang tersisa adalah peperangan antara musuhmu melawan pihak yang sudah bukan sahabat anda lagi, maka bebaslah anda!”.
Lalu apa hubungannya dengan Presiden Jokowi? Dalam kasus polemik pengadaan helikopter kepresidenan misalnya, perdebatan mengenai mahalnya harga dan ketidakcintaan pada produk dalam negeri bisa jadi merupakan suatu hasil dari rekayasa politik. Saya katakan “bisa jadi”, karena dalam dunia politik spekulasi apapun dapat terasa logis dan sangat mungkin dibenarkan.
Jokowi adalah produk rakyat Indonesia yang dinilai paling demokratis dan merakyat. Dari fakta tersebut, tentu dia mendapat keuntungan berupa popularitas dan legitimasi rakyat yang kuat. Sayangnya dua hal diatas yang menjadi penopang kekuasaannya sangat ditentukan tingkat emosional konstituen. Karena bersumber dari emot atau perasaan, maka logika rakyat cenderung menjadi tumpul karena dikalahkan “cinta”. Ketika cara pandang “mencintai” yang dipakai, orang akan membuang “garis pembatas” antara yang benar dan salah. Ketika garis pembatas tidak ada, maka percampuran (pertarungan penentuan) antara baik dan buruk menjadi tidak objektif. Tidak objektif karena terjadi injeksi subjektivitas yang mengebiri ruang keburukan sehingga hanya “kebaikan dan kebenaran” yang berkuasa diatas penilaian.
Maka jangan heran jika wacana pembelian helikopter kepresidenan tipe AW-101 made in Italy sepi dari kritik rakyat mayoritas. Paling-paling yang mengkritik adalah politisi dari partai oposisi atau elit “cari muka” saja yang ikut kipas-kipas. Tapi secara umum, ditingkat akar rumput tidak ada penolakan yang cukup berarti. Kalau hemat penulis, ada tiga hal perlu dicatat dalam fenomena diatas:
Pertama, berdasarkan fakta dan data pada pemilihan Presiden, mayoritas rakyat mencintai Jokowi. Itu dibuktikan kemenangannya dalam kontestasi tahun 2014 lalu. Karena dasar kecintaan adalah emosi atau perasaan, maka kebijakan tidak nasionalis sekalipun akan didukung dan dianggap demi kebaikan. Lha wong sudah cinta mau bagaimana lagi. Inilah salahnya orang (rakyat) yang mencintai, seolah logika benar-salah belakangan yang penting “perasaan”. Ini mirip cinta gorilla sepasang remaja bau kencur, demi “cinta” merelakan keperawanan untuk orang yang dicintainya.
Kedua, karena yang melakukan kajian dan mengambil keputusan dari pihak KSAU beserta jajarannya, maka Presiden akan sangat mudah berkelit dan lari dari kenyataan dilapangan. “Lha wong yang beli kan TNI AU, sebagai Presiden saya hanya “menunggangi” helikopternya”. Padahal KSAU itu bawahannya Panglima TNI dan Panglima TNI ditunjuk Presiden. Kalau cuma KSAU, urusan enteng itu polemik. Sekali Jokowi bilang “jangan beli!”, tidak jadi itu pembelian heli dari asing. Kenapa kita teriak tidak setuju? Ya karena itu uang dari kita (rakyat).
Ketiga, karena memang faktanya yang mengusul dan melakukan pembelian adalah dari pihak TNI AU, maka kritik dan ketidaksetujuan kita akan melayang ke arah KSAU. Bukan Jokowi, nah disinilah politik “pelaku bukan pelaku” dimainkan. Sebenarnya yang melakukan siapa dan kenyataan dilapangan siapa. Tentu ini tidak disadari oleh rakyat awam yang kurang berpendidikan. Dalam sistem presidensil, negara dikendalikan dan dikuasai Presiden. Termasuk urusan alokasi keuangan yang didapat dari rakyat dan kewenangan apapun itu, semuanya mempunyai titik intruksi cuma satu, yaitu pucuk tertingginya ada ditangan Presiden. Maka dalam dunia administrasi negera. “tidak ada secoret tandatangan pena pun yang menggores tanpa kuasa Presiden”.
Maka dalam kasus polemik helikopter Presiden diatas, jelas kita yang kontra akan menyudutkan pihak KSAU ketimbang Jokowi. Maksudnya adalah logika macam apa yang dipakai sehingga kita membeli helikopter dari luar negeri jika perusahaan anak bangsa sendiri mampu membuatnya? Dari beberapa sumber yang kita peroleh, misalnya dari Arie Wibowo, direktur PT Dirgantara Indonesia, perusahaan pelat merah tersebut (BUMN produsen pesawat) mampu membuat helikopter untuk Presiden dengan lebih baik. Dia menjamin kalau heli buatan PT DI lebih aman, murah, lebih nasionalis dan membantu mengurangi tingkat impor negara. Heli tipe tipe EC-725 menggunakan kandungan lokal sebesar 20% dan dikerjakan oleh putra-putri terbaik anak bangsa.
Tapi ya mau bagaimana lagi, sebenarnya ini bukan persoalan spesifikasi heli-nya, tapi ini urusan politik. Kalau yang lain mencintai Presiden dengan “perasaan” yang deskruktif, kita kaum mahasiswa mencintai Jokowi dengan cinta yang membangun, yaitu dengan kritik dan controlling.
Kita bangga karena Jokowi adalah Presiden anak kandung demokrasi. Tapi jangan lupa, kita rakyat jelata yang berkorban demi tegaknya dasar-dasar konstitusi, yang berjuang demi lahirnya pemimpin pro bangsa merasa kecewa dengan punahnya kejelataan Jokowi. Jangan sampai orang-orang “mantan orang susah” seperti Jokowi berubah menjadi seperti Mugabe, Kim Jong Il atau Mao Zedong. “kacang yang lupa kulitnya”. “Merengek ketika susah, arogan ketika berkuasa”. Dan parahnya lagi, majikanisme yang dipraktikkan dunia demokrasi hari ini adalah elitisme yang berkedok “merakyat”, diamini mayoritas dan menyatu dalam lembaga-lembaga demokrasi. Apa yang lebih berbahaya dari “racun” yang dikemas dalam botol air mineral?
Sebagai mahasiswa yang demokratis, penulis sama sekali tidak mendukung apa-apa yang dikehendaki rakyat. Demokrasi bukan untuk rakyat, tapi untuk kebaikan dan kebenaran. Karena kebenaran tidak bergantung dari seberapa besar pendukung atau penolaknya. Maka atas nama kebaikan dan kepentingan bangsa, kebijakan tidak nasionalis mesti dicegah. Cinta yang mematikan nalar kritis adalah kebobrokan emosional. Negara ini tidak dibangun dari rasa “suka atau tidak suka. Tapi diukur dari apakah penguasa itu bermanfaat bagi rakyat atau tidak. Kalau tidak bermanfaat gulingkan dan buang. Ganti penguasanya, dan ketika Jepang yang dikira pembebas ternyata malah merugikan, rakyat mengusirnya. Maka stop Jokowi si jelata yang memajikan.
Penulis: Muhammad Mualimin, Ketua Umum HMI Komisariat Universitas Al Azhar Indonesia dan Penulis Muda Forum Lingkar Pena