Oleh: M. Sigit Cahyono, M.Sc*
Pemerintah pusat melalui Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan (LBP) pada Tanggal 5 Oktober 2017 telah mencabut moratorium kegiatan reklamasi di Teluk Jakarta. Pencabutan ini tentu menimbulkan polemik, apalagi dilakukan menjelang pelantikan Gubernur Wakil Gubernur DKI Jakarta yang baru. Situasi semakin meruncing karena Anies-Sandi kembali menegaskan tidak akan melanjutkan reklamasi, sesuai janji kampanye yang telah mereka buat.
Tindakan LBP tersebut mendapat respon yang sangat keras, terutama dari para nelayan dan aktifis lingkungan hidup, yang memandang kegiatan reklamasi akan merusak mata pencaharian mereka dan ekosistem Teluk Jakarta pada umumnya. Mereka bersikeras, reklamasi harus dihentikan dan tidak boleh dilanjutkan lagi, karena hanya akan menguntungkan orang-orang berduit yang akan tinggal di Pulau tersebut.
Keinginan warga dan aktivis ini tentu sangat wajar, karena reklamasi akan mengancam masa depan mereka dan kehidupan makhluk hidup di sekitarnya. Oleh karena itu, keputusan untuk tidak melanjutkan reklamasi pada pulau-pulau yang baru cukup bisa dipahami. Yang jadi pertanyaan adalah, untuk pulau-pulau yang sudah terlanjur muncul ke permukaan, akan dikemanakan? Apakah akan dibiarkan menganggur atau dikeruk kembali?
Daripada pulau-pulau tersebut menganggur, lebih baik dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat banyak, misalkan untuk penyediaan sumber energi listrik bagi masyarakat pesisir.
Polemik terkait reklamasi ini memang cukup pelik. Namun semua ada solusinya jika dipikirkan secara jernih, misalkan memanfaatkan beberapa pulau yang sudah ada untuk pembangkit listrik dengan sumber energi baru terbarukan Kata penulis buku beberapa buku tentang Energi Baru Terbarukan ini.
Misalnya, pemerintah bisa membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di salah satu pulau tersebut. Ambil contoh Pulau G, yang luasnya sekitar 160 Hektare, apabila dibangun panel surya dan sistem pembangkitnya, akan bisa dihasilkan lbh dari 100 MW listrik. Nilai ini sangat signifikan dalam mendukung program 35.000 MW yang terancam gagal pada periode ini. Paling tidak, adanya PLTS ini akan menyelamatkan muka pemerintah Jokowi, sekaligus bisa menjadi kebanggaan baru bagi negeri ini.
Ide lainnya yang cukup menarik adalah membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di salah satu pulau tersebut. Di satu sisi, selain bisa menghasilkan listrik dalam jumlah besar, juga bisa mengurangi permasalahan menumpuknya sampah di TPA Bantar Gebang yang selama ini kurang tertangani dengan baik. Tentunya teknologi yang digunakan harus benar-benar bagus dan tidak malah menimbulkan pencemaran bagi wilayah sekitar, urainya.
Yang lebih penting lagi, kebutuhan tenaga kerja untuk PLTSa tersebut bisa diambil dari para nelayan yang sudah kehilangan mata pencaharian akibat pembangunan pulau reklamasi. Jadi ada semacam multiplier effect pemanfaatan pulau reklamasi untuk PLTSa tersebut.
Lebih jauh lagi, konsep Giant Sea Wall (GSW) yang sudah dirancang jauh-jauh hari, apabila tetap dilanjutkan, akan lebih bermakna apabila diiringi dengan pemanfaatan sebagai pembangkit listrik pasang surut (Tidal Energy). Memang, potensi energi pasang surut di Teluk Jakarta tidak terlalu besar, namun paling tidak, ada beberapa MW listrik yang bisa disuplai jika kita memanfaatkan GSW tersebut sebagai pembangkit listrik.
Istilahnya, setali tiga uang. Di satu sisi melindung wilayah pesisir pantai Jakarta, di sisi lain bisa menghasilkan energi yang sangat dibutuhkan negeri ini ujar Sigit yang juga menjadi Tenaga Ahli di Komisi VII DPR RI ini.
Memang, ide-ide tersebut baru sebuah wacana yang harus didalami lebih jauh lagi. Perlu studi yang komprehensif sebelum merealisasikannya, termasuk juga menyesuaikan aturan-aturan yang sudah ada saat ini. Akan tetapi, semua bukan tidak mungkin terjadi jika seluruh pemangku kepentingan mau duduk bersama, merumuskan yang terbaik untuk masa depan Jakarta dan negeri Indonesia tercinta.
*M. Sigit Cahyono, M.Sc adalah Pengamat Energi dan Maritim, sekaligus Dosen di Universitas Proklamasi 45, Yogyakarta.