SuaraJakarta.co, JAWA TENGAH – Persoalan kemanusiaan yang terus melanda nasib 4,5 juta warga Negara Indonesia yang menjadi buruh migran Indonesia (TKI) di luar negeri, tampaknya masih terus belum ada di titik terang. Pasalnya, agenda-agenda perubahan yang telah dilakukan oleh pemerintahan baru Presiden Jokowi selama 3 bulan ini, belum memberikan keyakinan publik bahwa pemerintahan baru mampu menghadirkan solusi yang komprehensif serta berbeda dari pemerintahan sebelumnya.
Keyakinan publik yang sangat minim terhadap pemerintahan Jokowi tersebut, tercermin dari Survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) versi Denny JA yang mencatat bahwa kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi tinggal 44,94 persen, sedangkan yang tidak puas angkanya naik hingga 43,82 persen. Angka tersebut, tampaknya relevan melihat kinerja kabinet Jokowi yang cenderung bersifat shock therapy dan tidak menyelesaikan akar persoalan mengapa banyak WNI lebih memilih bekerja di luar negeri. Misalnya, penghapusan KTKLN, penarikan 1,8 juta BMI Ilegal dari seluruh Negara penempatan, dan sidak PPTKIS nakal oleh Menaker Hanif Dhakiri.
Migrant Institute menilai bahwa akar permasalahan warga Negara Indonesia memilih untuk menjadi BMI adalah mutlak karena persoalan ekonomi (economic driven of forced migration), bukan karena pilihan atas dasar kapasitas untuk memilih menjadi buruh migran di beberapa Negara penempatan (skilled driven of chosen migration). Sehingga, upaya-upaya perlindungan yang dilakukan oleh pemerintah tidak cukup hanya berada dalam tataran perlindungan hukum (advokasi kasus), tapi juga mesti menyentuh hingga ranah perlindungan ekonomi (pemberdayaan) bagi buruh migran, baik bagi keluarganya maupun bagi BMI yang masih berada di Negara penempatan.
Upaya-upaya untuk melengkapi peran pemerintah dalam konteks pemberdayaan ekonomi tersebut itulah yang dihadirkan pada Kongres Buruh Migran yang diadakan oleh Keluarga Alumni Migran Indonesia (KAMI) sebagai jejaring pemberdayaan ekonomi Migrant Institute. Dengan mengambil tema “Sinergi Gerakan Menuju Kemandirian”, kongres yang telah diadakan selama 4 kali tiap tahunnya ini diikut-sertakan oleh kurang lebih 50 anggota KAMI yang berasal 10 daerah asal kantong buruh migrant.
Acara kongres yang berlangsung selama 3 hari dari tanggal 20 Desember hingga 23 Desember 2014 ini, diakhiri dengan Seminar Nasional “Menagih Janji Pemerintahan Baru untuk Perlindungan Buruh Migran Indonesia”. Selain dihadiri oleh Direktur Eksekutif Migrant Insitute Adi Candra Utama, seminar ini turut mengundang tiga elemen penting para pengampu kebijakan, yaitu Hamid Noor Yasin (Anggota Komisi IX DPR RI), Sri Sulistyowati (Staf BINAPENTA Kemenaker), dan Teguh (Direktur Mediasi dan Advokasi BNP2TKI).
Sebagian besar para hadirin mempertanyakan kepada BNP2TKI dan Kemenaker tentang minimnya anggaran untuk mengelola kemandirian BMI Purna dalam hal ekonomi. Padahal, salah satu upaya untuk menekan pengiriman tenaga kerja ke luar Indonesia, terutama 80% tenaga kerja perempuan, adalah melalui pemberdayaan dan kemandirian ekonomi. Sehingga, selain untuk mendesak hadirnya zero biaya penempatan dan zero asuransi, para BMI dan para anggota keluarga BMI Purna ini juga ingin agar Kementerian Tenaga Kerja serius untuk terus memberikan asistensi pengembangan kewirausahaan.
Atas terselenggaranya kongres dan seminar Buruh Migran ini, Migrant Institute memberikan pernyataan sikap sebagai berikut.
a. Pemerintah mengubah secara fundamental cara pandangan mengenai buruh migrant, dari komoditas menjadi civil
b. Pemerintah menarik seluruh perwalu yang tidak kompeten untuk menangani kasus buruh migrant di Negara penempatan
c. Pemerintah menyelesaikan dualisme kelembagaan antara BNP2TKI dan Kemenakertrans, serta melibatkan seluruh kementerian terkait mulai dari pra-keberangkatan, penempatan, dan pasca penempatan
d. Pemerintah segera penuhi persoalan-persoalan utama yang mengeksploitasi hak-hak sipil BMI , yaitu zero asuransi, zero biaya penempatan, dan segera keluarkan PERPPU atas dihapuskannya KTKLN.