Dibalik kejadian tak biasa yakni anjloknya harga minyak bumi, ada hal lain yang lebih mengancam Indonesia saat ini. Diantaranya adalah resesi di Eropa (kecuali Turki) dan Jepang, tak berkembangnya ekonomi Amerika serta melambatnya pertumbuhan di Cina. Kita tahu ekspor Indonesia sangat tergantung pada negara-negara tersebut sehingga neraca perdagangan kita bisa sangat terganggu. Terlebih lagi ikut tertekannya harga energi alternatif seperti gas dan batubara karena untuk apa membeli energi itu sementara minyak bumi saja bisa dibeli dengan harga sangat murah. Akibat langsung dari penekan kolektif terhadap ekonomi negeri ini adalah terus tertekannya nilai Rupiah terhadap mata uang asing terutama US Dollar.
Tentang terus melemahnya nilai uang di hadapan komoditas lain ini sudah seringkali kita bahas. Bahwa uang fiat (uang suka-suka yang dicetak tanpa backup atau cadangan emas) akan makin mahal dalam membeli sesuatu. Atau kita kenal ini sebagai inflasi. Dan inflasi bisa terjadi bersamaan dengan depresiasi nilai mata uang lokal terhadap mata uang asing. Inilah yang saat ini sedang terjadi pada Rupiah.
Dua ratus tahun setelah Al-Ghazali menjelaskan peranan uang dalam perekonomian, Aburrahman ibn-Khaldun, yang lebih kita kenal sebagai Ibnu Khaldun, menegaskan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut, melainkan oleh tingkat produksi dan neraca pembayaran yang positif. Sesederhana itu. Bukan oleh indikator-indikator keuangan di pasar finansial. Juga bukan karena negara mencetak uang sebanyak-banyaknya.
Meski termasuk ilmuwan Islam yang membolehkan alat tukar tidak dalam bentuk Dinar dan Dirham (emas dan perak), melainkan dengan uang yang di-backup emas dan perak, Ibnu Khaldun jelas menyatakan bahwa uang haruslah bernilai tetap sehingga menjadi penakar nilai yang adil untuk barang-barang yang beredar di pasar. Dalam keadaan nilai uang yang tidak berubah, pengaruh terhadap harga barang semata-mata ditentukan oleh penawaran dan permintaan. Setiap barang akan menemukan harga keseimbangannya sendiri. Dan kita tahu, alat tukar, ataupun back up alat tukar itu, adalah emas dan perak.
Ibnu Taimiyah (1263-1328) menguraikan instabilitas nilai uang akan membawa banyak kemadharatanyang sistemik sifatnya yaitu :
- Memicu terjadinya perdagangan uang. Uang yang kuat (di suatu negara atau wilayah) akan diperbandingkan dengan uang negara lain. Hal ini memicu spekulasi, juga inflasi. Padahal uang adalah alat tukar, bukan komodita yang bisa diperjual belikan.
- Hilangnya kepercayaan masyarakat akan stabilitas nilai uang akan mencegah orang melakukan kontrak/ikatan kerjasama jangka panjang (karena khawatir bergejolaknya nilai uang di masa datang) sehingga mendzalimi golongan masyarakat berpenghasilan tetap seperti pegawai
- Perdagangan domestik menurun dan fokus ke perdagangan luar negeri. Akibatnya rakyat di dalam negeri bisa saja membeli barang dari luar negeri karena murah atau sebaliknya perdagangan luar negeri malah tergantung transaksi di luar negeri.*)
Perhatikan gejala diatas. Bukankah itu yang terjadi dan sedang kita alami? Mari lanjut ke pemahaman dasar yang kita kenal tentang uang. Dijelaskan, bahwa fungsi uang ada 3 yaitu :
- Medium of Exchange (media pertukaran)
- Unit of Account (satuan hitung)
- Store of value (penyimpan/pelindung nilai)
Mengapa kita uraikan khusus tentang stabilitas nilai uang dalam pandangan Islam di bagian awal tulisan ini? Karena uang kartal yang kita kenal sekarang mandul dari dua sisi, yakni sebagai penyimpan nilai atau store of value. Dan karena tak mampu sebagai penyimpan nilai itu, atau terus menerus kehilangan purchasing power, maka nilainya dibandingkan komoditas lain terus turun sehingga tak bisa lagi digunakan untuk menentukan harga (unit of account). Nilai uang kertas yang kita gunakan terus melemah karena inflasi (naiknya harga-harga) dan depresiasi (tekanan nilai tukar terhadap mata uang asing). Uang kartal saat ini hanya valid sebagai alat tukar.
Dinar dan Dirham sebagai mata uang asli dalam Islam yang digunakan selama hampir 1.400 tahun sebelum keruntuhan Turki Ustmani, dapat berfungsi dengan baik menjalankan tiga fungsi uang tersebut. Dinar dan Dirham digunakan untuk alat pertukaran, maupun sebagai penakar harga dan penyimpan nilai.
Dibandingkan dengan harga komoditas apapun, seperti minyak, batu bara hingga kebutuhan pokok sehari-hari, harga emas naik secara proporsional. Berarti seluruh komoditas itu, makin mahal jika dibeli dengan Rupiah dan mata uang kertas lainnya. Kita tentu merasakan ini semua. Gejala ini kita sering sebut sebagai inflasi. Sebaliknya, nilai komoditas di dunia ini berjalan beriringan dengan nilai emas, artinya kemampuan beli emas sesungguhnya relatif tetap dari waktu ke waktu.
*Ir. H. Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam, Suatu Kajian Kontemporer, halaman 55“ 60
Penulis: @endykurniawan Trainer, coach dan penulis bidang Bisnis, Investasi dan Keuangan. Pendiri dan pemilik Salama Mitra Investa