SuaraJakarta.co, JAKARTA – Dosen Hubungan Internasonal Universitas Indonesia Edy Prasetyono menilai sangat sulit seratus persen untuk mengeluarkan tentara dari politik.
Di beberapa negara berkembang, tambahnya, hal itu sudah lazim terjadi. Sehingga, butuh titik keseimbangan untuk mencari titik temu antara hubungan sipil dan militer.
“Kalau militer menguat, maka selalu saya salahkan adalah sipil. Kenapa? Karena tidak bisa mengontrol penuh secara politik terhadap militer,” jelasnya dalam Diskusi Publik ‘Reformasi Sektor Keamanan’, Rabu (4/10) di Gedung The Habibie Center, Kemang, Jakarta Selatan.
Oleh karena itu, tambah Doktor dari Birmingham University ini, harus ada jeda sekitar dua hingga tiga tahun bagi militer yang telah pensiun sebelum masuk ke dunia politik.
“Pernah kita lihat Panglima TNI sebelumnya, yaitu Jenderal Moeldoko yang masih aktif, ditawari menjadi seorang presiden oleh salah satu partai. Ini tidak baik, karena akan menarik TNI ke dunia politik praktis,” jelasnya.
Diketahui, isu militer untuk kembali aktif dalam politik praktis kembali menguat. Hal itu berkembang karena Panglima TNI Gatot Nurmantyo dinilai menggunakan isu sensitif, seperti G30S, untuk bersaing di Pilpres 2019.
Di satu sisi nama Jenderal yang akan pensiun pada Maret 2018 itu juga masuk dalam 5 besar Capres terpopuler menurut Lembaga Survei Median. Yaitu, Jokowi, Prabowo, Susilo Bambang Yudhoyono, Anies Baswedan, dan Gatot Nurmantyo. (RDB)