SuaraJakarta.co, JAKARTA – Pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 76/PUU-XII/2014 dan 79/PUU-XII/2014, pranata hukum Indonesia akan lebih rumit dan banyak mengalami kerancuan.
Pasalnya, dalam putusan MK yang telah diketuk palu hari Selasa (22/9) kemarin, banyak persoalan baru yang akan timbul dari direvisinya UU No 17/2014 tentang MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD), khususnya pada Pasal 245. Kerumitan tersebut terutama berkaitan dengan dua hal, yaitu keharusan adanya izin dari presiden untuk memeriksa anggota dewan terkait pidana umum, dan keterlibatan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam proses penyusunan undang-undang khususnya yang berkaitan dengan persoalan otonomi daerah.
Sebagaimana diketahui, dalam amar putusan MK bernomor 76/PUU-XII/2014 tersebut seorang penegak hukum diharuskan meminta izin dari presiden saat hendak memeriksa atau meminta keterangan dari anggota dewan, sepanjang dalam kerangka pidana umum (KUHP), misalnya pelecehan seksual, pembunuhan, penganiayaan, dan sebagainya. Sehingga, menurut Ketua MK Arief Hidayat, pidana yang bersifat khusus seperti Korupsi, Narkotika dan Psikotropika, dan Terorisme tetap tidak membutuhkan izin dari presiden.
“Kecuali dalam hal Operasi Tangkap Tangan (OTT), terorisme, korupsi, putusan itu tidak diberlakukan,”kata Arief sebagaimana dikutip dari Harian Seputar Indonesia, Jumat (25/9).
MK menilai persetujuan dari presiden tersebut penting karena anggota DPR berbeda dengan masyarakat umumnya, karena memiliki resiko yang sesuai dengan tugas, pokok, dan fungsinya. Arief menambahkan privilege rightsseperti ini juga terjadi di negara lain.
Namun demikian, Mantan Ketua MK Jimly Assidique menilai bahwa putusan MK tersebut akan membuat birokrasi pemerintahan tambah rumit. Jimly menilai hal tersebut akan membuat sistem birokrasi di Indonesia akan menjadi panjang karena Presiden mesti menyiapkan standar (tata cara prosedur) pemberian izin agar bisa dieksekusi dengan cepat oleh penegak hukum.
“Kita harus menghormati putusan pengadilan. Tapi, ini jadi ribet urusannya, menambah birokrasi politik baru yang tidak perlu,”kata Jimly, di Jakarta, Kamis (24/9).
“Ini hanya administrasi saja, tapi bertambah ribet prosesnya. Presiden itu tugasnya banyak, sangat sibuk sekali. Kalau ditambah peraturan seperti itu bagaimana?,” tambah Jimly.