SuaraJakarta.co, JAKARTA – Dari nama-nama menteri yang di-reshuffle oleh Presiden Jokowi, seluruhnya berasal dari menteri yang berlatar belakang non partisan atau profesional.
Hal ini tentunya memunculkan kekecewaan publik yang kian mendalam kepada Presiden Jokowi, bahwa saat masa kampanye, dirinya berjanji bahwa tidak akan melakukan transaksi politik kepada partai politik untuk mengisi jabatan posisi di kabinet.
Sebagaimana diketahui, transaksi politik yang dilakukan oleh Jokowi kian terlihat, terutama saat reshuffle pertama di era Kabinet Kerja ini. Atas dasar dalih perimbangan kekuasaan, Jokowi menambah satu orang dari PDIP untuk menjadi menteri, yaitu Pramono Anung, untuk menggantikan Andi Widjajanto, akademisi Universitas Indonesia (UI) yang non-partisan.
Selain itu, posisi Menteri Koordinator (Menko) Puan Maharani pun tidak goyah. Hanya Puan lah satu-satunya menko yang tidak terkena sapuan reshuffle Jokowi tersebut, sebagaimana yang dialami oleh Menko Perekonomian Sofyan Djalil, Menko Kemaritiman (Indriyono Soesilo), dan Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno.
Atas dasar hal tersebut, Pengamat Politik Hanta Yudha, mengkritisi kebijakan reshuffle ini, “Hampir tidak ada menteri-menteri dari partai politik yang dievaluasi secara serius,”jelasnya saat berlangsungnya sebuah acara di Metro TV, Rabu (12/8).
Menurutnya, banyak menteri yang berasal dari partai politik, yang seharusnya juga perlu dievaluasi, “Ini satu-satunya yang tidak tersentuh. Hanya Pak Tedjo Edhy yang terkena reshuffle,”tambahnya.
Pandangan senada juga disampaikan oleh Profesor Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bakti. Menurutnya, saat publik menginginkan jabatan menteri berasal dari profesional, Jokowi lebih memilih menteri yang tidak memiliki basis politik.
“Pada dasarnya menteri profesional yang paling mudah dicopot, karena mereka tidak punya basis,” ujarnya, sebagaimana dikutip dari laman CNN Indonesia, Rabu (12/8).
Ikrar menduga bahwa ditendangnya menteri-menteri yang berlatar belakang profesional tersebut dikarenakan Jokowi ingin memberikan porsi lebih kepada partai pengusung untuk mengisi kabinet, dikarenakan perannya yang lebih saat pemenangan Jokowi dulu.