Presiden Dan Mendagri Berpotensi Langgar Konstitusi Jika Ahok Tidak Dinonaktifkan Dari Gubernur DKI

SuaraJakarta.co, JAKARTA – Presiden Joko Widodo dan Mendagri Tjahjo Kumolo berpotensi melanggar konstitusi jika tidak menonaktifkan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dari jabatan Gubenur DKI Jakarta setelah masa kampanye. Hal tersebut diungkapkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mohammad Mahfud MD, Kamis (9/2/2017).

Menurut Mahfud, potensi pelanggaran konstitusi itu karena Ahok yang sudah berstatus terdakwa kasus dugaan penistaan agama Islam dan maju sebagai calon gubernur pada Pilkada DKI Jakarta akan mengakhiri masa cuti kampanye pada 11 Februari 2017. ‎

“Iya begini, menurut UU (Pemda) Pasal 83 ayat 1 itu jelas, seorang kepala daerah yang menjadi terdakwa, bukan menjadi tertuntut (tersangka) ya, yang sudah menjadi terdakwa itu diberhentikan sementara,” ujar Mahfud.

Selain itu, kata Mahfud, dakwaan untuk Ahok sudah jelas dan tidak ada pasal lain yang menafikan itu.

“Tidak ada pasal lain lagi yang bisa menafikan itu. Tidak bisa mengatakan menunggu tuntutan. Lho, inikan dakwaan kok. Iya kan. Dakwaannya sudah jelas,” kata Mahfud.

Setelah dinonaktifkan pada masa kampanye, Ahok akan aktif kembali pada 12 Februari. Dijelaskan Mahfud, untuk penonaktifkan Ahok kembali dari jabatan gubernur, maka pada 12 Februari tersebut Presiden melalui Mendagri harus kembali menonaktifkan Ahok. ‎

“Kalau melewati tanggal tersebut, Presiden telah melanggar konstitusi, karena memberikan jabatan kepala daerah kepada seorang terdakwa,” bebernya.

‎Kalau Presiden masih kukuh, tambah Mahfud, maka harus diterbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (Perppu).

“‎Karena tak ada instrumen hukum lain yang bisa membenarkan Ahok itu menjadi gubernur kembali tanpa mencabut (Pasal 83) itu,” tegas Mahfud.

Namun, kata Mahfud, ada konsekuensi atau tanggungjawab yuridis jika Presiden mengeluarkan Perppu. Hanya saja Mahfud menyarankan agar Presiden memikirkan dengan matang, kalau memang mau menerbitkan Perppu untuk mencabut pasal 83 dalam UU Pemda.‎

“Presiden boleh mencabut pasal itu, misalnya dengan hak subjektifnya, asalkan mau menanggung seluruh akibat politik dari pencabutan pasal itu. Saya memberi jalan yuridisnya. Ada hak subjektif Presiden, hal subjektif itu artinya alasan-alasannya ditentukan sendiri presiden tapi dipertanggungjawaban sendiri secara politik pada masa sidang DPR berikutnya. Termasuk kemungkinan kalau misalnya Perppu itu dinyatakan ditolak. Itu harus dipersiapkan juga (cara lain),” katanya seperti dikutip laman sindonews[dot]com. (JML)

Related Articles

Latest Articles