Ini adalah bulan Februari 2021. Namun intrik-intrik politik untuk merebut kursi kepresidenan di 2024 sudah dimulai.
Ketua Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHaY), berbicara kemarin (1 Pebruari) kepada pers tentang usaha “mengkudeta’ kepemimpinannya. Dia menuduh ada lingkaran dalam istana bermain dalam usaha kudeta tersebut.
Salah seorang pengurus Partai Demokrat, Andi Arief, secara blak-blakan menyebut nama Moeldoko, Kepala Staf Presiden, berada dibalik usaha kudeta tersebut. Ada beberapa eks pengurus Partai Demokrat bertemu dengan Moeldoko.
Nama-nama bekas petinggi Partai Demokrat ini kemudian tersebar di media sosial. Antara lain adalah Marzuki Alie, mantan ketua DPR, yang gagal melenggang kembali ke Senayan.
Ada Max Sopacua, yang mantan komentator sepakbola dan kemudian aktif di Partai Demokrat.
Selain itu Muhammad Nazzarudin, mantan bendahara Partai, yang kemudian menjadi narapidana kasus korupsi, yang sempat melarikan diri hingga ke Kolombia, Amerika Latin.
Terakhir adalah John Alen Marbun, yang sekarang menjadi anggota DPR-RI. Dia dulu melawan partainya karena mendukung Jokowi-Ma’ruf Amin dalam pemilihan presiden 2019.
Moeldoko pun bereaksi. Dia mengakui ada pertemuan dengan para ‘pengurus’ partai ini. Dia mengaku bahwa mereka mendatangi rumahnya. Karena dia adalah mantan Panglima TNI, kilahnya, rumahnya terbuka selama 24 jam untuk tamu.
Kecuali bahwa ternyata kemudian diketahui bahwa pertemuan antara Moeldoko dengan para elit partai demokrat ini tidak terjadi di rumahnya. Menurut aktivis Partai Demokrat, Rachland Nashidik, pertemuan itu terjadi di Hotel Aston Rasuna Said Jakarta lantai 28 pada tanggal 27 Januari lalu.
Pertemuan itu rupanya terdengar oleh mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ayah AHaY. Itulah sebabnya pada tanggal 30 Januari, SBY meluncurkan tweet, tentang cara berpolitik yang beradab dan usaha untuk menjadi ‘the good,’ ‘the bad,’ dan ‘the ugly.’ Kalau tidak bisa menjadi ‘the good,’ berusahalah untuk tidak jadi ‘the bad’ atau bahkan ‘the ugly.’
Presiden SBY memang terkenal suka berbahasa Inggris untuk mengungkapkan perasaannya.
Reaksi Moeldoko terhadap tuduhan AHaY ini menarik. Dia tidak menampik adanya pertemuan itu namun dia tidak menyebutkan itu terjadi di sebuah hotel. Dan kita tidak tahu apakah dia diundang (itu artinya dia secara aktif mendatangi mereka yang mengundang) atau malah dia atau tim-nya yang mengatur pertemuan itu.
Dalam wawancara TV, dengan jelas dia berusaha menekankan bahwa dia adalah seorang jendral mantan Panglima TNI. Ini tentu saja untuk menarik kontras antara dirinya dengan AHaY yang memilih pensiun dini dari TNI-AD dengan pangkat Mayor.
Selain itu, dia berusaha menarik garis tegas tindakan dirinya dengan jabatannya sebagai Kepala Staf Presiden. “Jangan sedikit-sedikit (menayalahkan) istana, ” katanya. Dan dia mengingatkan untuk tidak coba-coba mengganggu Presiden Jokowi.
Untuk saya, ini adalah ‘politicking’ yang bagus. Moeldoko ternyata sangat handal memakai skandal (jika boleh disebut demikian) untuk menaikkan posisi politiknya. Dia menarik kontras dengan AHaY — baik dari sisi keahlian profesional (jendral vs mayor); dari sisi hubungan kekuasaan (dia seorang ‘handler’ dari Presiden RI); dan mantan Panglima TNI, institusi yang hingga saat ini secara politik masih paling kuat di Indonesia.
Dari sisi rekam jejak, jelas Moeldoko diatas angin dibandingkan dengan AHaY. Itulah sebabnya, untuk saya, Moeldoko lebih menarik untuk dicermati.
AHaY adalah sebuah produk dinasti. Sementara Moeldoko adalah sebuah produk klik politik. AHaY tidak akan mungkin menjadi seperti sekarang jika saja dia tidak berada dalam lingkaran keluarga dinasti Yudhoyono.
Sementara Moeldoko adalah seorang yang harus memilih afiliasi. Dia mencoba peruntungan setiap kali menghadapi tantangan politik. Dia berhutang budi pada SBY karena karir militernya melejit dibawah presiden ini.
Karena jabatan jendral dan Panglima TNI ditentukan oleh keputusan politik, maka sulit untuk mengingkari bahwa tangan SBY juga bermain dalam menaikkan Moeldoko sehingga memiliki posisi politik seperti sekarang.
Namun politik adalah politik. Moeldoko, yang pada awalnya dianggap sebagai ancaman oleh Jokowi, kemudian dirangkulnya. Banyak orang mengernyitkan dahi saat Jokowi mengganti kepada stafnya yang sipil dan memberikannya kepada Moeldoko pada awal 2018.
Dia juga sempat diisukan untuk menjadi calon wakil presiden mendampingi Jokowi pada Pilpres 2019. Setelah Jokowi terpilih, dia juga diperkirakan akan menjadi Menko Polhukam atau Menteri Pertahanan. Namun tidak satu pun jabatan itu diraihnya. Oleh Jokowi dia tetap dipertahankan sebagai Kepala Stafnya.
Orang sempat memperkirakan karir politik Moeldoko sudah mati dan ambisinya untuk menjadi presiden, hal yang tidak pernah disembunyikannya, sudah terkubur.
Orang juga bertanya-tanya, mengapa dia tetap di KSP. Mungkin sekarang orang mulai mendapatkan jawabannya. Moeldoko masih menyimpan ambisi politiknya dan dia di-plot untuk sesuatu yang jauh lebih besar dan penting.
Aktivis Partai Demokrat, Rachlan Nashidik, dengan cepat menangkap pengakuan Moeldoko bahwa langkahnya menemui elit-elit Partai Demokrat sudah disetujui oleh Kepala BIN dan Menko Polhukam. Dia menduga bahwa langkah ini bukan tidak mungkin juga diketahui (dan direstui!) oleh “Pak Lurah,” sebutannya untuk Presiden Jokowi.
Apa yang dilakukan oleh Moeldoko ini mungkin bukan usaha kudeta terhadap kepemimpinan Partai Demokrat. Saya sendiri cenderung mengkategorikannya sebagai ‘hostile take over’ atau pengambilalihan secara paksa. Ini hal biasa dilakukan dalam dunia bisnis untuk mematikan pesaing.
Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah apakah usaha hostile take over ini dilakukan secara sistematis? Moeldoko berusaha memisahkan antara aktivitas dirinya dengan administrasi pemerintahan Jokowi. Namun benarkah demikian?
Sebagaimana biasa dalam politik, kita tidak pernah tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Namun kita bisa memahaminya dengan meletakkannya dalam konteks.
Saya cenderung berpikiran bahwa Moeldoko memang diposisikan untuk mengambilalih Partai Demokrat. Itulah sebabnya dia tetap ada di KSP dan berada dalam orbit terdekat Presiden.
Presiden Jokowi berkuasa tanpa memiliki satu partai politik. Dia mengandalkan kepiawaiannya dalam melakukan politicking dan bermanuver di kalangan kekuatan-kekuatan politik. Namun demikian, setelah berkuasa Jokowi membangun klik kekuasaan tersendiri. Dia memang tidak memiliki partai namun dia memiliki klik. Dengan demikian dia bisa lentur (flexible) untuk masuk ke kekuasaan manapun juga.
Sungguh sulit bagi saya untuk membayangkan bahwa manuver Moeldoko untuk mengambilalih Partai Demokrat tanpa dukungan satu kekuatan. Saya bisa merasa bahwa klik kekuasaan inilah yang sekarang berada dibalik hostile take over ini.
Jika demikian halnya, mengapa pertemuan Moeldoko di hotel Aston itu bisa ketahuan oleh orang-orang Demokrat dan SBY? Perkiraan saya, take over ini sudah dirancang sebelumnya. Kini mereka sedang memasuki fase ‘perang’ dari take-over itu.
AHaY dan Partai Demokrat memang sengaja dipancing untuk keluar dan menjadikan pertemuan tersebut sebagai isu politik. Dan Moeldoko secara jitu memanfaatkannya untuk menarik kontras dengan AHaY.
Saya membayangkan diri sebagai kader Partai Demokrat di sebuah kabupaten. Ketika mendengar manuver politik ini, saya dihadapkan pada pilihan: Loyal kepada AHaY atau beralih kepada Moeldoko.
Saya melihat keadaan partai sekarang: berada diluar kekuasaan, tidak ada akses untuk mendapatkan uang, tidak menjadi oposisi namun tidak juga berkuasa, prospek 2024 sangat tipis.
Sementara opsi dengan Moeldoko sangat menarik: Berada dalam kekuasaan, bersekutu dengan pemerintah, bukan tidak mungkin akses ke uang juga terbuka lebar, dan prospek 2024 sangat terbuka lebar.
Tidak bisa disangkal jika Moeldoko berhasil menguasai Demokrat maka dia akan berada pada posisi sangat kuat pada 2024. Dia memiliki infrastruktur yang sudah jadi dan dia berada dalam klik kekuasaan Presiden Jokowi. Dia juga bisa menjamin masa depan dinasti Jokowi yang sedang mulai dibentuk.
Sehingga, saya bisa melihat mengapa Moeldoko terlihat sangat percaya diri ketika menghadapi AHaY dan para loyalisnya. Mereka terperangkap. Moeldoko justru mengharapkan reaksi keras AHaY, SBY, dan kalangan demokrat yang setia kepada mereka sehingga dia bisa mengkontraskan diri dengan AHaY.
Moeldoko dan kliknya tahu persis bahwa kondisi dalam Demokrat juga sedang terbelah. Banyak ketidakpuasan lahir dari Kongres Demokrat yang lalu. Moeldoko berusaha mengeksploitasi perpecahan ini.
Kalau Moeldoko menguasai Demokrat, bisa dipastikan dia akan menjadi calon presiden yang sangat kuat. Dia memiliki partai sendiri. Hal yang tidak dimiliki oleh Anies Baswedan, Ridwan Kamil, Risma, dan para politisi ambisius lain yang matanya sedang mengarah pada kursi kepresidenan.
Dia bisa dengan mudah berkoalisi dengan partai manapun yang dia kehendaki. Karena aksesnya ke dalam kekuasaan, dia juga bisa dengan mudah mengumpulkan uang untuk kampanye.
Apa yang kita saksikan ini adalah sebuah usaha hostile take over yang biasa terjadi dalam satu perusahan namun tidak terlalu biasa dalam politik. Jika berhasil, ia akan merubah semua konfigurasi politik kita.
Banyak belum kita ketahui dari usaha pengambilan paksa ini. Apakah ini sebuah usaha sistematis? Sejauh mana keterlibatan klik politik di sekitar presiden? Bagaimana dinamika internal Partai Demokrat setelah usaha ini muncul ke permukaan?
Gambar besar dari usaha pengambilalihan ini adalah bahwa kita tidak memiliki partai sebagaimana partai politik yang ada dalam definisi kepartaian yang umum ada di dunia. Partai politik kita bukan untuk menyalurkan aspirasi politik rakyat. Bukan pula untuk melatih kader untuk setia pada nilai dan ideologi kepartaian tertentu. Juga bukan memperjuangkan sebuah program sosial untuk rakyat biasa.
Lebih buruk lagi, partai adalah sebuah alat segelintir elit yang menjadikannya sebagai kendaraan menghimpun kekuasaan pribadi.
Partai kita tidak memiliki ideologi. Tidak memiliki nilai apapun yang diperjuangkan kecuali nafsu berkuasa dari para elit. Hostile take over seperti ini bisa terjadi karena personalisasi kekuasaan atas partai.
Partai sudah menjadi seperti perusahan. Tidak lebih dan tidak kurang. Di dunia ekonomi, keadaan lebih baik karena ada regulasi seperti anti-trust, anti-monopoly, anti-oligoply, atau anti-monopsony, dan lain sebagainya.
Di dunia politik, tidak ada regulasi itu. Siapa yang kuat, dia yang berkuasa dan menentukan segalanya.