SuaraJakarta.co, JAKARTA – Tak sedikit publik yang mengecam kekerasan yang ahir-ahir ini terjadi di Myanmar, menyaksikan penderitaan masyarakat Rohingya Marwan Jafar mengutuk tindak kekerasan tersebut telebih seperti yang di rilis oleh Human Rights Watch (HRW) di New York beberapa waktu lalu yang menyebutkan bahwa kekerasan tidak hanya dilakukan oleh masyarakat sipil, tetapi juga dibantu secara sistematis oleh militer.
“Jika itu benar, harus disikapi secara serius karena disebutkan sekitar 820 rumah dihancurkan di lima desa utara Rakhine dalam kurun tanggal 10-18 November lalu. Kini, sudah ribuan warga Rohingya terpaksa melarikan diri mencari suaka ke negara lain sejak konflik pertama meletus beberapa tahun lalu” ujar Marwan Jafar pada informasi yang diterima redaksi Kamis, (24/11/2016).
Kenyataan tersebut mengingatkan atas berbagai kejahatan kemanusiaan genosida yang pernah terjadi dalam sejarah kelam manusia. Sejarah mendeskripsikan genosida terjadi di hampir seluruh benua dengan berbagai bentuk dan pola kejahatan yang dilakukan secara sistematis. Genosida terbesar dalam peradaban modern pernah terjadi di Eropa yang dilakukan oleh Aldolf Hitler terhadap etnis Yahudi di seluruh wilayah negara-negara kekuasaan NAZI, tambah mantan Menteri Desa pertama ini.
Selain itu, lanjut Marwan, bahwa yang masih jernih dalam ingatan adalah kejahatan kemanusiaan yang terjadi dalam tragedi pembantaian umat Muslim, dikenal dengan genosida Srebrenica di Bosnia. Diperkirakan sekitar 8.000 jiwa dari penduduk muslim Bosnia tewas dibantai oleh kekuatan militer yang dipimpin Jenderal Ratco Mladic pada tahun 1995. Dalam jejak sejarah genosida, selalu ada sidik keterlibatan kekuasaan sebuah negara dan kekuatan militernya.
Kejahatan genosida selalu terjadi tidak lepas dari kepentingan-kepentingan politik yang memusnahkan kelompok etnis, agama, suku, atau kelompok. Praktik genosida dilakukan dengan menciptakan social game atau proses permainan sosial dengan melakukan mitologisasi sejarah sebagai legitimasi praktik genosida.” Ujar Marwan.
Hal tersebut dapat terlihat dalam praktik genosida yang dilakukan Nazi dengan membangun social game melalui sejarah untuk melgitimasi kepentingan politiknya. Praktik strategi social game merupakan penyebaran berita bohong dan mitos untuk menjastifikasi praktik genosida demi kepentngan politik tertentu. Social game tersebut diperknalkan oleh Erving Goffman dalam dramtic theory-nya dimana keseluruhan dalam realitas sosial ini adalah panggung sandiwara. Lantas bagaimana dengan kasus pembantaian terhadap Muslim Rohingnya?
Kasus pembantaian di Rohingya nampaknya tidak lepas dari agenda politik nasional Myanmar. Pasti ada aktor-aktor tertentu yang memiliki kepentingan politik. Disinilah peran dan suara dunia internasional terutama organisasi-organisasi internasional seperti PBB sangat dibutuhkan. Pembantaian terhadap manusia hanya bisa dihentikan oleh rasa kemanusiaan masyarakat kita sebagai masyarakat dunia. Sikap cepat dan tegas menjadi kebutuhan mendesak untuk mencegah kekerasan yang terus-menerus yang berpotensi melahirkan kekerasan baru di negara lain.
Oleh karenanya, Marwan menjelaskan, kejahatan genosida tidak dapat dibenarkan. Kejahatan genosida satu dari empat pelanggaran HAM berat selain kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi yang berada dalam yurisdiksi International Criminal Court. Pada statuta Roma dan undang-undang No.26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, genosida menjadi salah satu pembahasan penting dalam pelanggaran HAM.
Dalam hukum Indonesia, mengenal kejahatan genosida dan dimasukkan sebagai kejahatan HAM. Dalam Pasal 8, UU RI No 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, genosida didefenisikan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, dan kelompok agama. Penghancuran itu dilakukan dengan cara membunuh yang mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok dan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya.
Menurut Marwan, ada beberapa langkah yang harus segera dilakukan, pertama, peran dan respon cepat pemerintah Indonesia. Presiden Jokowi tidak boleh lamban menyikapi masalah di Rohinya yang mirip tindakan genosida. Indonesia yang menganut politik luar negeri bebas aktif dengan ikut serta dalam ketertiban dunia sebagaimana amanah UUD 1945 harus tehas menyikapi kasus Rohingya sebagai sebuah pelanggaran HAM berat. Dalam kacamata kemanusiaan dan yurisdiksi International Criminal Court, melihat tingkat tindakan kekerasaan yang sistematis dan massif dalam tragedi kemanusiaan di Rohingya, sudah memenuhi kategori sebagai kejahatan kemanusiaan genosida.
Kedua, peran civil society atau masyarakat madani. Munculnya masalah kemanusiaan yang menimpa masyarakat Muslim Rohingya di tengah kondisi politik dalam negeri yang akhir-akhir ini cukup panas tentang isu SARA, berpotensi memunculkan problem jika disikapi salah dan reaktif oleh masyarakat Muslim di Indonesia. Ormas keagamaan dan tokoh masyarakat harus mengkanalisasi masalah Rohingya sebagai masalah kemanusiaan yang tidak ada kaitannya dengan upaya agama tertentu membantai masyarakat muslim Rohingya. Organisasi-organisasi lintas agama juga sangat berperan besar untuk melakukan kanalisasi ini agar tidak mudah dimanfaatkan oleh pihak yang ingin situasi dalam negeri tidak kondusif.
Terlepas dari motif apapun, kata mantan Ketua Fraksi PKB DPR RI ini, kekerasan dan tindakan pembantaian yang dialami oleh masyarakat muslim Rohingya tidak dapat dibenarkan oleh kemanusiaan kita. Tragedi yang merupakan praktik genosida tersebut harus dikutuk dalam konteks kemanusiaan dan disikapi dengan bijak sebagai tindakan keji yang melibatkan kekuatan militer dan masyarakat sipil setempat di luar latar belakang agama mereka. Pemerintah harus segera melakukan tindakan cepat dan masyarakat madani beserta tokoh-tokoh agama berupaya melakukan kecaman terhadap tindakan genosida terhadap masyarakat Rohingya sebagai tindakan yang murni kejahatan kemanusiaan, pungkasnya.