SuaraJakarta.co, JAKARTA –Terbongkarnya praktik-praktif prostitusi dengan berbagai modus dan pola di beberapa kota di Indonesia oleh kepolisian patut diapresiasi. Namun, jika negara mulai dari eksekutif, legislatif, penegak hukum, dan masyarakat tidak serius menanggulangi prostitusi, maka prostitusi akan dianggap hal yang wajar dan biasa, terutama oleh generasi muda Indonesia.
“Kalau kita tidak serius dan bertindak cepat, saya khawatir praktik-praktik prostitusi dianggap hal normal dan biasa oleh masyarakat. Karena memang hukum kita juga menganggap praktik ini kejahatan yang biasa saja, padahal ini penyakit sosial yang sangat berbahaya bagi anak dan remaja kita,” ujar Wakil Ketua Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Fahira Idris, di Jakarta (15/05).
Fahira mengatakan, saat ini sebanyak 80 persen praktik-praktik prostitusi yang terjadi di Indonesia melibatkan para perempuan muda dibawah usia 30 tahun. Sementara, kebanyakan yang berlaku sebagai germo dan mucikari adalah laki-laki.
“Tapi yang harus dingat, kebanyakan mereka tercebur ke dunia pelacuran saat masih belia. Bahkan ada yang baru berumur 13 tahun sudah dijual ke laki-laki hidung belang. Paling banyak itu usia 16 sampai 23 tahun. Bahkan diantaranya masih banyak yang berstatus pelajar dan mahasiswa,” ungkap Fahira.
Menurut Senator Asal Jakarta ini, tidak adanya undang-undang yang melarang pelacuran dan tidak ada larangan hukum terhadap orang yang melakukan relasi seks di luar pernikahan, menjadi salah satu sebab maraknya prostitusi di Indonesia. Dalam KUHP yang dilarang dan diancam hukuman adalah praktik germo (Pasal 296 KUHP) dan mucikari (Pasal 506 KUHP). Prostitusi jadi semakin marak karena juga kemajuan teknologi informasi yang membuat praktik ini semakin mudah dilakukan.
“Bagaimana prostitusi tidak tumbuh subur, hukuman maksimal itu cuma setahun dan denda hanya lima belas ribu rupiah, padahal ada praktik perbudakan dan human trafficking di situ. Sementara untuk pelaku (PSK dan pelanggan) belum ada hukum yang mengatur. Makanya jangan heran pekerjaan sebagai mucikari, PSK, dan orang yang sering menyewa PSK di beberapa komunitas masyarakat menjadi hal yang biasa saja,” tukas Fahira.
Oleh karena itu, lanjut Fahira, perlu sebuah undang-undang yang tegas melarang praktik prostitusi di Indonesia. Saat ini yang dibutuhkan adalah, baik pemerintah, DPR, DPD, tokoh agama dan masyarakat adalah duduk bersama mencari solusi persoalan ini. Fahira mengharapkan, dalam waktu dekat ini, DPR bersedia memasukkan larangan dan sanksi hukum yang tegas terhadap praktik prostitusi terutama kepada para pelanggan dan mucikari, dalam revisi KUHP.
“Tekanan hukuman maksimal dan berefek jera kepada pelanggan dan mucikari menjadi penting, karena dua pihak inilah yang membuat praktik prostitusi menjadi subur. Dalam prostitusi itu ada praktik perbudakan dan perdagangan manusia yang sudah disepakati dunia internasional sebagai kejahatan luar biasa,” jelas Fahira.
Dalam waktu dekat ini, tambah Fahira, DPD akan mengusulkan RUU baru menyangkut larangan prostitusi di mana di dalamnya juga diatur segala macam terkait kejahatan seksual, perbudakan, dan perdagangan manusia.
“Saya rasa ini (undang-undang larangan prostitusi) sudah mendesak untuk segera dirumuskan dan dibahas. DPD akan segera mengusulkan RUU ini ke DPR,” ujar Ketua Yayasan Abadi (Anak Bangsa Berdaya dan Mandiri) ini.