SuaraJakarta.co, JAKARTA – Kisruh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta antara DPRD dan Gubernur DKI Jakarta setidaknya mulai membuka mata warga DKI Jakarta akan pentingnya partisipasi dan pengawasan dalam tiap penyusunan APBD. Ini karena, di tiap tahapan penyusunan APBD mulai dari pembahasan hingga pengesahan ada potensi penyelewengan. Setelah dikejutkan dugaan dana siluman 12 triliun, penganggaran pembelian UPS yang tidak masuk akal, besarnya anggaran belanja pegawai, kini warga Jakarta harus menyerngitkan dahi setelah Kemendagri menemukan anggaran pembelian alat tulis kantor (ATK) dengan nilai fantastis dalam APBD 2015.
Senator Asal Jakarta Fahira Idris mengatakan, kisruh APBD merupakan kesempatan warga Jakarta untuk lebih jeli me-review kembali sejauh mana warga dilibatkan dalam tahap perencanaan program dan anggaran APBD DKI Jakarta 2015.
“Coba kita review bersama, sejauh mana APBD yang sekarang mengakomodasi usulan warga. Kalaupun diakomodasi bentuknya seperti? Apakah usulan yang diterima APBD benar-benar menggambarkan kebutuhan riil warga atau malah program yang ada di APBD sama sekali bukan usulan warga? Jangan-jangan program yang sebenarnya dibutuhkan warga malah dialihkan untuk pos-pos anggaran yang tidak penting,” ujar Fahira, di Jakarta (17/03).
Fahira memandang, selama ini wacana atau diskursus mengenai ABPD Jakarta terasa sangat elitis yaitu hanya antara legislatif dan eksekutif dan para pengamat anggaran terutama para ekonom. Padahal yang paling merasakan dampak dari alokasi APBD yang tidak proporsional adalah warga Jakarta sendiri. Besaran APBD Jakarta yang terus meningkat dari tahun ke tahun idealnya bisa membantu warga Jakarta menghadapi persoalan hidup sehari-hari.
“Pelayanan kesehatan dan pendidikan yang masih banyak ketimpangan, banjir dan macet masih manghadang, dan jalanan yang masih rusak itu sangat berkaitan dengan anggaran dan yang merasakan langsung itu warga. APBD itu prioritasnya untuk itu, bukan belanja pegawai apalagi beli ATK yang gila-gilaan,” tegas Wakil Ketua Komite III DPD ini.
Persoalan yang banyak terjadi dalam tiap penyusunan APBD, tidak hanya di Jakarta tetapi hampir diseluruh Indonesia, menurut Fahira adalah terbatasnya akses dan pengetahuan warga dalam tiap tahap penyusunan APBD. Makanya sering kita jumpai (dalam APBD) anggaran untuk birokrasi jauh lebih mendominasi dari pada pembiayaan pembangunan atau banyak program yang di desain berbasis proyek untuk kepentingan kelompok tertentu saja. Ini bisa terjadi karena pada saat penyusunan APBD ada persekongkolan antara oknum yang ada di Pemerintah Daerah dengan DPRD dan lemahnya pengawasan publik.
Untuk APBD DKI Jakarta yang saat ini sudah akan masuk dalam proses tahap pengesahan, hal mendesak yang bisa dilakukan warga Jakarta adalah mengawasi proses pengadaan barang dan jasa yang potensi penyelewengannya sudah bisa dicermati mulai dari perencanaan pengadaan, pengumuman lelang, penyusunan harga perkiraan sendiri sampai penyerahan barang. Penyelewengan di tahap perencanaan pengadaan bisa cermati apakah ada gelagat mencurigakan seperti penggelembungan anggaran, rencana pengadaan yang diarahkan ke perusahaan tertentu, atau penentuan jadwal waktu yang tidak realistis.
“Peserta lelang itu sebenarnya satu perusahaan, perusahaan yang lain yang ikut hanya sebagai pembanding agar lelang bisa berjalan. Ini masih terjadi walau lelang sudah secara elektronik. Kalau sudah begini, pola korupsinya adalah pemberian suap, penggelapan, menerima komisi, nepotisme, konstribusi atau sumbangan ilegal, pemerasan, penyalahgunaan wewenang, dan pemalsuan,” tukas senator perempuan ini.