SuaraJakarta.co, JAKARTA-Tidak hanya pada pemerintahan SBY, pada pemerintahan Jokowi pun, kritikan terhadap rencana kenaikan harga BBM terus menuai. Perbedaannya, di era SBY, kenaikan BBM terjadi dalam rentang waktu yang relatih jauh setelah masa pelantikan. Sehingga, pembahasan mengenai kenaikan BBM di internal pemerintah maupun terhadap DPR dalam konteks kejelasan sumber anggaran untuk antisipasi kenaikan BBM, dapat dijalankan dengan baik sesuai koridor hukum.
Adanya perbedaan pandangan mengenai sumber dana sosialisasi tiga kartu Jokowi (KKS, KIP, dan KIS), misalnya, membuktikan bahwa persoalan kenaikan BBM tidak cukup dibahas secara mendalam di dalam internal kabinet. Sehingga, hanya dalam waktu 3 (tiga) hari pernyataan Mensesneg Pratikno dianulir sendiri oleh Menkeu Bambang Brodjonegoro yang sama-sama tergabung dalam Kabinet KerjaÂ
“Itu kan sudah jalan, tapi itu kan bantuan dari berbagai pihak. Itu (biaya penerbiatan KIS, KIP, dan KKS) CSR dari BUMN, tidak masuk APBN”, jawab Pratikno sebagaimana dilansir dari kompas.com (5/11)
Sedangkan, Menteri Keuangan, menyampaikan hal berbeda soal sumber tiga kartu Jokowi tersebut. Menurutnya, tiga kartu tersebut diambil dari Dana Perlindungan Sosial sebesar Rp 5 Triliun dan Dana Cadangan Risiko Fiskal sebesar 2,7 yang keseluruhan komponen tersebut masuk dalam APBN-P 2014 Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara
“Kedua dana itu sudah masuk ke dalam belanja cadangan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara”, jelas Bambang di Kantor Kemenkeu, Jumat (7/11) sebagaimana dilansir dari tempo.co
Persoalan Sistemik Kenaikan BBM
Adanya kenaikan BBM tersebut, sebenarnya bukan sekadar hitung-hitungan ekonometri praktis akan konsumtivisme minyak yang mampu memperbesar defisit neraca perdagangan. Melainkan, persoalan sistemik yang menyangkut paradigma pengelolaan negara.
Menurut, ahli Ekomomi-Politik Pancasila Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Yudhie Haryono, para pendiri republik ini sengaja mendirikan apa yang disebut dengan Negara untuk mengoreksi kinerja pasar (VOC) dan logika penjajah (neoliberalisme)
“Negara menjadi aktor utama penyejahteraan rakyat, dalam hal Kepemilikan dan Pengelolaan. Karena itu negara tidak boleh tunduk pada pasar”, jelas doktor yang sekaligus tergabung dalam Tim Asistensi Kedaulatan Ekonomi Rakyat (TAKER) ini dalam rilis yang dikirimkan pada 9/11 silam.
Dampak dari tidak boleh Negara tunduk pada mekanisme pasar, menurutnya, adalah internasionalisasi harga BBM menjadi hal yang sesat dan menyesatkan. Sehingga, menurut doktor sekaligus Direktur Eksekutif Nusantara Centre, ada 5 (lima) syarat audit yang harus dilakukan oleh Negara sebelum menaikkan harga BBM
“Pertama, audit kepemilikan sumur minyak; Kedua, audit tata niaga minyak; Ketiga, pembunuhan mafia minyak; Keempat, audit kinerja BUMN Perminyakan; Kelima, re-alokasi keuntungan minyak”, papar mantan pendiri CDIS (Centre for Democracyu and Islamic Studies) IAIN Walisongo Semarang
Yudhie mengingatkan bahwa Pasar (market) hidup dari ketidakstabilan dan krisis sebuah negara. Sehingga, mekanisme pasar dan aktor private dianggap lebih menjanjikan dalam mengelola sebuah negara daripada pemerintah (government) itu sendiri. Sehingga, pertanyaan ini, setidaknya mengingatkan pandangan mantan menteri di era orde baru yang hingga kini konsisten menentang keras kenaikan BBM, Harmoko
“Jadi, ketika kita membaca berita harga BBM akan dinaikkan, setidaknya kita bisa memahami bahwa hal itu sebenarnya dalam kaitan skema kepentingan Kapitalis. Kalau begitu adanya, maka silakan para pemilik SPBU asing tertawa, rakyat Indonesia pun menderita”, Paparnya, “Ini bisa kita hindari, kalau pemimpin negeri ini segera sadar tak berorientasi pada kepentingan kapitalisme, melainkan demi kepentingan rakyat. Insya Alloh!” Tegasnya sebagaimana dikutip di poskotanews.com (4/11). (ARB)