SuaraJakarta.co, JAKARTA – Litbang Kompas, Selasa (28/2), menurunkan laporan bahwa 43,53 persen petahana (incumbent) kalah atau tidak terpilih kembali di Pilkada serentak 2017 yang diselenggarakan di 101 daerah.
Hasil riset Kompas tersebut diambil dari olah data pemindaian formulir C1 atau penghitungan suara di tingkat tempat pemungutan suara di tingkat tempat pemungutan suara di 84 daerah dari 101 daerah.
Di 84 daerah itu, ada 65 petahana kepala daerah dan 20 petahana wakil kepala daerah yang bertarung. Namun, yang terpilih kembali hanya 48 orang atau 56,47 persen.
Jika dibandingkan dengan pilkada serentak 2015 silam, jumlah ini tidak jauh berbeda. Saat itu, sebanyak 42,1 persen petahana yang gagal terpilih kembali.
Angka pergantian elite yang berada di atas 40 persen itu, menurut pengajar Departemen Politik Universitas Indonesia, Panji Anugerah, secara teoritik cukup tinggi.
Menurut Panji perputaran elite yang cukup tinggi itu menunjukkan pilkada sebagai mekanisme menjalankan aspek penghargaan dan penghukuman (reward and punishment) kepada petahanan sudah berjalan.
“Publik memiliki kekuatan elektoral untuk menghukum petahana yang tak bekerja dengan baik. Meskipun perlu pengkajian mendalam soal ini,” jelas Panji sebagaimana dikutip dari Harian Kompas.
Senada dengan itu, Pilkada DKI putaran pertama pada Bulan Februari silam, hanya menempatkan petahana Ahok-Djarot di tingkat elektabilitas 43,3 persen, atau selisih kurang dari 3 persen dengan pesaing terdekatnya Anies-Sandiaga.
Ketidakmampuan petahana untuk mencapai angka mutlak 50 persen plus satu untuk sampai satu putaran itu, tampaknya menjadi evaluasi serius bahwa publik memiliki alasan lain untuk tidak memilih petahana menjadi Gubernur DKI kembali.
Di sisi lain, publik melihat bahwa sosok Anies-Sandi dinilai mampu menjadi pesaing serius petahana dengan kesan dapat mempersatukan, santun, beraih dan faktor emosional seperti satu agama. (RDB)