SuaraJakarta.co, Mewujudkan insan manusia yang cerdas dan kompetitif merupakan visi dari Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Selain itu, visi tersebut juga mengarah kepada penyiapan manusia yang berdaya saing secara global. Bukankah setiap sekolah yang merupakan institusi pendidikan berkewajiban memiliki visi seperti itu? Mengapa harus ada yang dikhususkan? RSBI? Mengapa pemerintah tidak mewajibkan semua sekolah memiliki visi seperti itu agar negara ini mampu maju secara keseluruhan?
RSBI bisa dikatakan sebagai salah satu sarana pemerintah untuk mendiskriminasi insitusi pendidikan yang terhormat: sekolah. Ya, secara tidak langsung perbedaan dan pengelompokan terjadi di institusi pedidikan bernama sekolah. Konon, hal tersebut disahkan setelah adanya Pasal 50 Ayat 3 yang menyatakan bahwa Pemerintah maupun Pemerintah Daerah diharuskan menyelenggarakan atau memfasilitasi sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan (sekolah) pada semua jenjang pendidikan yang bertaraf internasional baik itu SD, SMP, maupun SMA.
Menurut info yang dikutip dari Kementrian Pedidikan Nasional (kemdiknas) dalam landasan filosofis penyelenggaraan SBI/RSBI, disebutkan bahwa terdapat empat pilar pendidikan yaitu learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be yang merupakan patokan berharga bagi penyelarasan praktek-praktek penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Maksudnya, pembelajaran tidak hanya memperkenalkan pengetahuan (learning to know), tetapi juga harus bisa membangkitkan penghayatan dan mendorong penerapan nilai-nilai tersebut (learning to do) yang dilakukan secara kolaboratif (learning to live together) dan menjadi peserta didik yang percaya diri dan menghargai dirinya (learning to be). Keempat pilar ini harus ada mulai dari kurikulum, guru, proses belajar-mengajar, sarana dan prasarana, hingga sampai pada penilaiannya.
Kenyataan di lapangan
Dalam faktanya, ada beberapa bahkan banyak sekali sekolah yang berlomba-lomba menjadikan dirinya RSBI. Hal tersebut disebabkan adanya kucuran dana yang sudah disiapkan pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah, dan juga berhubungan dengan pamor sekolah itu sendiri. Ada suatu kendala ketika sebagian dari mereka belum siap menjadi RSBI seutuhnya. Ketidaksiapan itu terlihat dari meningkatnya fasilitas yang tak sebanding dengan kualitas dari sekolah dengan gelar RSBI tersebut. Bangunan yang dipermegah merupakan contoh nyata dari peningkatan fasilitas di RSBI. Selain itu, sarana Teknologi, Informasi, dan Komunikasi (TIK) yang diperlengkap, ruangan pertemuan yang dibuat semakin nyaman, dan lain hal sebagainya merupakan fasilitas yang diangung-agungkan pula oleh RSBI.
Sarana maupun fasilitas di RSBI memang harus diperhatikan, namun lebih penting lagi adalah kualitas dari penopang sekolah itu sendiri yaitu kepala sekolah dan tentu saja guru. Berdasarkan penelitian dan evaluasi yang dilaksanakan Kementerian Pendidikan Nasional, terungkap bahwa terdapat lebih dari 80% guru dan kepala sekolah memiliki kemampuan bahasa Inggris yang sangat rendah. Berdasarkan hasil Test of English for International Communication (TOEIC), para guru dan kepala sekolah berada di level novice (100-250) dan elementary (255-400) dari nilai maksimum 990. Dari hasil tersebut menandakan bahwa para guru dan kepala sekolah yang telah menjalan tes tersebut ternyata belum cukup memadai secara bahasa karena mereka masih dalam level novice (pemula) dan elementary (dasar).
Berdasarkan penelitian tersebut tidak mengherankan apabila banyak guru RSBI yang hanya menggunakan bahasa Inggris pada saat membuka pelajaran dan salam penutup di kala pelajaran usai, atau hanya menerapkan penggunaan bahasa Inggris di dalam beberapa soal UTS atau Ujian Semester. Sedangkan, pada saat penyampaian pelajaran, guru menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Padahal sesungguhnya di Indonesia, salah satu indikator guru yang mengajar di RSBI haruslah menguasai bahasa Inggris. Jika begitu, apa bedanya RSBI dengan sekolah biasa?
Hakikatnya apabila sekolah benar-benar merupakan RSBI dan menerapkan aturan yang sudah ditetapkan pemerintah, seharusnya guru-guru tersebut menggunakan dwi bahasa atau bilingual pada saat mengajar. Namun, akibat RSBI yang dipaksakan jadilah kenyataannya seperti itu. Guru tidak menerapkan pembelajaran bilingual di kelas, murid pun belajar sekenanya saja.
Kegagalan RSBI
Hasil evaluasi yang dilakukan oleh Balitbangdikbud cukup mencengangkan karena pada faktanya program RSBI gagal total. Sejumlah 1,305 RSBI tidak bisa menjadi SBI. Menjadi RSBI tidak lah murah dan mudah karena adanya pembangunan secara fisik dan pelatihan untuk guru pun mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Hal tersebut disebabkan karena dalam proses suatu sekolah menjadi RSBI, pemerintah sudah menyediakan dana khusus untuk melakukan pelatihan-pelatihan khusus seperti pelatihan bahasa Inggris bagi para guru, juga tak jarang mengadakan workshop agar guru-guru lebih mantap menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar pelajaran. Bila begitu, tentu saja kegagalan RSBI menimbulkan kerugian secara materi.
Sebetulnya pemerintah sudah menetapkan standar yang tinggi untuk guru RSBI, yaitu diwajibkan memiliki ijazah S2-S3. Tetapi, alangkah lebih bijak jika pemerintah tidak hanya menjadikan kualifikasi ijazah saja sebagai acuan, melainkan kompetensi agar guru-guru tersebut benar-benar berkualitas. Lebih dari itu, pemerintah harus menentukan kriteria kompetensi guru RSBI dengan jelas. Pun pihak sekolah, harus melakukan peningkatan kualitas guru itu sendiri.
Dari uraian diatas, dapat ditarik benang merah bahwa semestinya tidak perlu negara kita ini memiliki sekolah khusus yang bernama RSBI. Kualitas yang berkompetensi lah yang seharusnya diutamakan dibanding fasilitas atau pun pembangunan fisik. Sarana dan prasarana memang dibutuhkan untuk mendukung proses pembelajaran. Tetapi, akan lebih bermakna apabila elemen yang paling penting di dalam sekolah yaitu guru yang meningkatkan kualitasnya.
Apabila guru sudah berkualitas dan sesuai dengan harapan yang tertuang dalam indikator RSBI, maka segalanya pun akan mengikuti. Persaingan secara global pun tak akan terelakan lagi. Jati diri bangsa Indonesia tetap terjaga dengan menggunakan bahasa Indonesia. Dan, tentu saja impian pemerataan pendidikan pun dapat tercapai tanpa ada diskriminasi sekolah bernama RSBI. Lalu, harus adakah RSBI di tanah air ini?
Putri Tiara Ismawaty | Mahasiswa Sampoerna School of Education